Menjemput Janji
Kebahagiaan
Pagi itu,
Minggu, 19 Februari. Langit begitu berbeda dari biasanya. Rupa-rupanya awan
abu-abu pekat seperti berkonspirasi menghalangi sinar matahari yang menerobos
masuk ke jantung kota. Jalanan gelap. Mendung. Membuat pengendara motor di
jalan kompak menyalakan lampu kendaraannya.
Para mama di
rumah melarang anak-anak untuk keluar rumah, takut hujan deras serta angin yang
kencang mencelakakan mereka. Yang dilarang justru menggerutu dongkol, padahal
mereka sudah mempersiapkan hari libur ini (bahkan saking senangnya menyambut
hari ini sampai ada yang tidak bisa
tidur semalaman) dengan bersepeda dengan teman sejawatnya. Merutuki cuaca yang
tak bersahabat ini saat mama mereka memaksa memasukkan sepeda ke dalam rumah.
Tak ada cara lain bagi mereka selain berharap semoga cuaca kembali membaik.
Pagi itu,
mendung juga menggelanyut di hati Rafli. Di dalam kamarnya saat ini dia hanya
bisa menundukkan kepala. Janji kebahagiaan yang selama tiga bulan dia rajut
bersama pujaan hatinya harus luruh bagai daun – daun kering yang ditercerabut
dari tangkainya oleh angin di luar sana. Rafli mengangkat kepalanya, otak
menginstruksikan kedua bola mata Rafli melirik ponsel miliknya yang tergeletak
di meja kamar. Tak ada. Tak ada pesan yang masuk. Padahal setiap pagi ada pesan
yang masuk di ponselnya, entah berisi motivasi, kata-kata mutiara, atau sekedar
menanyakan kabar dari gadis yang dia kenal saat mengikuti seminar pendidikan
beberapa bulan yang lalu. gadis yang membuat dirinya jatuh hati sejak pandangan
pertama. gadis yang memberikan gradasi warna yang indah bagi kehidupannya
akhir-akhir ini. Sudah selesai, semuanya sudah selesai. Rafli kembali
menundukkan kepala.
Penyebabnya
adalah telepon semalam. Semalam, Amira menelepon Rafli menginformasikan bahwa
ada seorang pemuda datang ke rumahnya dengan alasan meminta Amira menjadi
istrinya. Pemuda itu merupakan dokter
muda. Akademiknya bagus, seorang freshgraduated Pascasarjana Fakultas
Kedokteran di salah satu kampus terbaik di Surabaya. Dengan profil yang ciamik
seperti itu, tidak ada alasan logis bagi orang tua Amira untuk menolak pinangan
tersebut. Namun tidak untuk Amira, dia tidak tertarik oleh semua itu, karena
hatinya sudah tertambat kepada seorang yang bernama Rafli.
Orang tua
Amira meminta anaknya gadisnya itu untuk menerima pinangan si dokter muda.
Namun, Amira meminta waktu tiga hari untuk memikirkan jawabannya. Hatinya tidak
dapat berbohong bahwa dia mencintai Rafli. Di seberang telepon, Amira menangis
dan mengatakan kepada Rafli bahwa dia hanya punya waktu tiga hari untuk
menjawab pinangan tersebut. Walau tidak mengatakannya secara lugas, tetapi
Rafli sadar betul bahwa tujuan Amira menelepon dirinya adalah agar Rafli berani
datang ke orang tua Amira secepatnya untuk meminang Amira.
Hanya saja
Rafli merasa sudah seperti orang yang kalah sebelum berperang. Dengan hanya
bekerja sebagai guru les Bahasa Inggris yang pendapatannya jauh dari kata
berlebih, jiwa Rafli dihinggapi keraguan. Dia tidak dapat membayangkan
bagaimana dia dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya dengan hanya
mengandalkan pendapatan dari pekerjaan guru honorer ini. Selain itu, Rafli juga
pesimis orang tua Amira akan menerimanya setelah ada seorang dokter muda yang
datang untuk meminta putri bungsunya itu. Secara materi, Rafli bukan tandingan
si dokter muda itu. Lidah Rafli kelu, menutup telepon setelah meminta waktu
kepada Amira untuk berfikir sejenak.
Pintu kamar
Rafli berbunyi tiga ketukan, Rafli mengangkat kepalanya, lalu bangkit
membukakan pintu, matanya yang lesu semburatkan kesedihan yang dia rasakan.
Pintu kamar terbuka saat secara bersamaan Rafli menekan dan menarik ganggang
pintu yang udah mulai aus itu. Dibalik pintu ternyata Ibunda Rafli berdiri
membawakan semangkuk sup ayam panas di tangan kanan dan segelas teh hangat di
tangan kirinya. Disapanya Rafli dengan senyum hangat yang sejenak membuat anak
sulungnya itu dapat melupakan kegalauan hati.
“Dari semalam
kau terlihat lesu. Ada apakah, Nak?” Rafli menghentikan suapan makannya yang
kelima, lalu mendongakkan kepala kepada Ibunya.
“Tidak ada apa-apa,
bun.” Kata-kata yang keluar dari mulut Rafli jelas bertentangan dengan apa yang
ditujukkan oleh raut mukanya. Ibunda Rafli hanya tersenyum tipis.
“Engkau
mempunyai hak untuk tidak menceritakannya kepada bunda. Tapi dari air muka yang
kau tunjukkan saat ini, mengingatkan bunda kepada seseorang dua puluh lima
tahun yang lalu. Dan seseorang itu adalah ayahmu.” Rafli segera menaruh mangkuk
supnya di meja. Menatap penuh makna wajah bunda, merasa penasaran dengan
kalimat bundanya barusan. Yang ditatap kembali tersenyum melihat anak sulungnya
kebingungan.
“Iya, dua puluh
lima tahun yang lalu. Ayahmu datang ke rumah bunda, sendiri menggunakan motor
bututnya yang baru dia beli dari temannya dengan cara mengangsur selama lima
kali. Ayahmu berusia 24 tahun saat itu, dia pemuda yang tampan. Banyak
perempuan yang menyukai dirinya, namun entah mengapa dia hanya menaruh
perhatian kepada bunda. Dengan mantap dia menemui kakekmu, mengutarakan keinginannya
untuk memperistri bunda. Lalu apakah engkau tahu apa yang dikatakan kakekmu
kepada ayah?” Bunda menatap Rafli dengan sedikit senyum simpul, anak sulungnya
menggelengkan kepala.
“Kakekmu
menanyakan perihal keluarganya, pendidikan serta apa pekerjaan ayah. Pertanyaan
tentang pekerjaanlah yang membuat ayahmu berkeringat. Bunda yang melihatnya
dari balik tirai kamar juga merasa kuatir. Saat itu ayahmu hanya seorang
pelukis, dan selama ini dia hidup mandiri hanya dengan hasil menjual
lukisannya. Sudah barang tentu dia tidak memiliki penghasilan tetap. Kakekmu
memberitahu kepadanya bahwa dalam membina keluarga membutuhkan uang untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun saat itu hanya melukislah yang bisa
dilakukan oleh ayahmu. Lalu, kakek meminta maaf karena lamaran ayahmu kepadaku
belum diterima, sebab ayahmu tidak memiliki pekerjaan tetap. Ayah menundukkan
kepalanya, kulihat air mukanya ketika itu mirip sekali dengan air muka yang kau
tunjukkan saat ini.” Suara guntur di langit kota semakin keras, titik per titik
air hujan sudah meluncur turun menghajar tanah. Rafli mulai tertarik dengan
cerita bundanya, yang bercerita juga bersemangat menceritakan kejadian
seperempat abad yang lalu itu.
“Apakah kakek
tidak suka dengan ayahmu? Tentu saja kakek sangat suka dengannya. Kakekmu tahu
betul akan keteguhan hati serta kerja keras ayahmu. Kakekmu hanya menguji
mentalnya. Kakekmu yakin bahwa ayahmu tidak akan menyerah begitu saja. Dan
benar saja, setelah beberapa saat terbenam dalam kekecewaan, ayahmu menegakkan
kepalanya lalu berkata kepada kakek ‘Maaf Pak, benar saat ini saya tidak
memiliki pekerjaan tetap dan tidak berpenghasilan tinggi, namun saya berjanji
akan bekerja keras untuk membahagiakan Shofia. Saya akan bekerja keras untuk
itu, saya berjanji. Saya mencintainya saat pertama kali bertemu dengannya. Dan,
dari pertemuan itulah saya yakin Shofia adalah perempuan yang terbaik bagiku
dan anak-anakku kelak. Kumohon restuilah hubungan kami.’ Kau tahu Rafli? Ayahmu
benar-benar mantap mengungkapkan kalimat tersebut. Hati bunda bergemuruh saat
itu juga mendengar kalimat itu.” Hujan semakin deras di luar sana. Genting atap
rumah semakin gaduh ditimpa jutaan tempias air hujan yang meluncur secara
serempak dan simultan.
“Di akhir
pertemuan itu, kakekmu tersenyum dan yakin bahwa laki-laki yang sedang di
depannyalah yang terbaik untuk mendampingi putri semata wayangnya mengarungi
sisa hidup ini. Pinangan ayahmu diterima. Raut muka kekecewaan yang tadi dia
tampakkan berubah menjadi senyuman manis dari bibirnya. Dan, sampai saat ini,
walau kehidupan kita sederhana namun bunda selalu bahagia berada disisi ayah.
Selama berkeluarga, bunda tidak pernah dikecewakan oleh ayahmu. Ayahmu menepati
janjinya, janji untuk selalu menyayangi dan membahagiakan keluarga ini. Bunda
mencintainya. Mencintainya juga saat pertama kali bertemu.” Bunda menutup ceritanya.
“Oh iya, siapa
nama gadis cantik yang membuatmu kusut begini? Pergilah, temui orang tuanya dan
katakan seperti apa yang ayah katakan kepada kakekmu dua puluh lima tahun yang
lalu.” Bunda mengedipkan matanya sambil
tersenyum ke Rafli.
Dan, secercah
harapan menjemput janji kebahagiaan itu mulai tersibak kembali di hati Rafli.
Surabaya, 25 Februari 2013
10.00 a.m
Tidak ada komentar:
Posting Komentar