Hanya Untuk Kepuasan Jiwa...

"Jika Anda ingin mengenal Dunia, maka Membacalah. Dan jika Anda ingin Dunia Mengenal Anda, maka Menulislah"
Sesuatu yang paling membahagiakan bagi jiwa ini adalah ketika dapat mengeluarkan segala potensi yang dipunya. dan menulis adalah salah satu sarana dalam mengeksplorasi kemampuan dengan mencatat segala pengalaman yang didapat agar bertambah ilmu yang dimiliki...
semoga tulisan ini dapat selalu menjadi manfaat minimal bagi diri sendiri dan bagi pembaca yang lain..

Jumat, 01 Maret 2013

Menjemput Janji Kebahagiaan

Menjemput Janji Kebahagiaan

Pagi itu, Minggu, 19 Februari. Langit begitu berbeda dari biasanya. Rupa-rupanya awan abu-abu pekat seperti berkonspirasi menghalangi sinar matahari yang menerobos masuk ke jantung kota. Jalanan gelap. Mendung. Membuat pengendara motor di jalan kompak menyalakan lampu kendaraannya. 

Para mama di rumah melarang anak-anak untuk keluar rumah, takut hujan deras serta angin yang kencang mencelakakan mereka. Yang dilarang justru menggerutu dongkol, padahal mereka sudah mempersiapkan hari libur ini (bahkan saking senangnya menyambut hari ini sampai  ada yang tidak bisa tidur semalaman) dengan bersepeda dengan teman sejawatnya. Merutuki cuaca yang tak bersahabat ini saat mama mereka memaksa memasukkan sepeda ke dalam rumah. Tak ada cara lain bagi mereka selain berharap semoga cuaca kembali membaik.

Pagi itu, mendung juga menggelanyut di hati Rafli. Di dalam kamarnya saat ini dia hanya bisa menundukkan kepala. Janji kebahagiaan yang selama tiga bulan dia rajut bersama pujaan hatinya harus luruh bagai daun – daun kering yang ditercerabut dari tangkainya oleh angin di luar sana. Rafli mengangkat kepalanya, otak menginstruksikan kedua bola mata Rafli melirik ponsel miliknya yang tergeletak di meja kamar. Tak ada. Tak ada pesan yang masuk. Padahal setiap pagi ada pesan yang masuk di ponselnya, entah berisi motivasi, kata-kata mutiara, atau sekedar menanyakan kabar dari gadis yang dia kenal saat mengikuti seminar pendidikan beberapa bulan yang lalu. gadis yang membuat dirinya jatuh hati sejak pandangan pertama. gadis yang memberikan gradasi warna yang indah bagi kehidupannya akhir-akhir ini. Sudah selesai, semuanya sudah selesai. Rafli kembali menundukkan kepala.

Penyebabnya adalah telepon semalam. Semalam, Amira menelepon Rafli menginformasikan bahwa ada seorang pemuda datang ke rumahnya dengan alasan meminta Amira menjadi istrinya.  Pemuda itu merupakan dokter muda. Akademiknya bagus, seorang freshgraduated Pascasarjana Fakultas Kedokteran di salah satu kampus terbaik di Surabaya. Dengan profil yang ciamik seperti itu, tidak ada alasan logis bagi orang tua Amira untuk menolak pinangan tersebut. Namun tidak untuk Amira, dia tidak tertarik oleh semua itu, karena hatinya sudah tertambat kepada seorang yang bernama Rafli.

Orang tua Amira meminta anaknya gadisnya itu untuk menerima pinangan si dokter muda. Namun, Amira meminta waktu tiga hari untuk memikirkan jawabannya. Hatinya tidak dapat berbohong bahwa dia mencintai Rafli. Di seberang telepon, Amira menangis dan mengatakan kepada Rafli bahwa dia hanya punya waktu tiga hari untuk menjawab pinangan tersebut. Walau tidak mengatakannya secara lugas, tetapi Rafli sadar betul bahwa tujuan Amira menelepon dirinya adalah agar Rafli berani datang ke orang tua Amira secepatnya untuk meminang Amira.

Hanya saja Rafli merasa sudah seperti orang yang kalah sebelum berperang. Dengan hanya bekerja sebagai guru les Bahasa Inggris yang pendapatannya jauh dari kata berlebih, jiwa Rafli dihinggapi keraguan. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana dia dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya dengan hanya mengandalkan pendapatan dari pekerjaan guru honorer ini. Selain itu, Rafli juga pesimis orang tua Amira akan menerimanya setelah ada seorang dokter muda yang datang untuk meminta putri bungsunya itu. Secara materi, Rafli bukan tandingan si dokter muda itu. Lidah Rafli kelu, menutup telepon setelah meminta waktu kepada Amira untuk berfikir sejenak.

Pintu kamar Rafli berbunyi tiga ketukan, Rafli mengangkat kepalanya, lalu bangkit membukakan pintu, matanya yang lesu semburatkan kesedihan yang dia rasakan. Pintu kamar terbuka saat secara bersamaan Rafli menekan dan menarik ganggang pintu yang udah mulai aus itu. Dibalik pintu ternyata Ibunda Rafli berdiri membawakan semangkuk sup ayam panas di tangan kanan dan segelas teh hangat di tangan kirinya. Disapanya Rafli dengan senyum hangat yang sejenak membuat anak sulungnya itu dapat melupakan kegalauan hati.

“Dari semalam kau terlihat lesu. Ada apakah, Nak?” Rafli menghentikan suapan makannya yang kelima, lalu mendongakkan kepala kepada Ibunya.

“Tidak ada apa-apa, bun.” Kata-kata yang keluar dari mulut Rafli jelas bertentangan dengan apa yang ditujukkan oleh raut mukanya. Ibunda Rafli hanya tersenyum tipis.

“Engkau mempunyai hak untuk tidak menceritakannya kepada bunda. Tapi dari air muka yang kau tunjukkan saat ini, mengingatkan bunda kepada seseorang dua puluh lima tahun yang lalu. Dan seseorang itu adalah ayahmu.” Rafli segera menaruh mangkuk supnya di meja. Menatap penuh makna wajah bunda, merasa penasaran dengan kalimat bundanya barusan. Yang ditatap kembali tersenyum melihat anak sulungnya kebingungan.

“Iya, dua puluh lima tahun yang lalu. Ayahmu datang ke rumah bunda, sendiri menggunakan motor bututnya yang baru dia beli dari temannya dengan cara mengangsur selama lima kali. Ayahmu berusia 24 tahun saat itu, dia pemuda yang tampan. Banyak perempuan yang menyukai dirinya, namun entah mengapa dia hanya menaruh perhatian kepada bunda. Dengan mantap dia menemui kakekmu, mengutarakan keinginannya untuk memperistri bunda. Lalu apakah engkau tahu apa yang dikatakan kakekmu kepada ayah?” Bunda menatap Rafli dengan sedikit senyum simpul, anak sulungnya menggelengkan kepala. 

“Kakekmu menanyakan perihal keluarganya, pendidikan serta apa pekerjaan ayah. Pertanyaan tentang pekerjaanlah yang membuat ayahmu berkeringat. Bunda yang melihatnya dari balik tirai kamar juga merasa kuatir. Saat itu ayahmu hanya seorang pelukis, dan selama ini dia hidup mandiri hanya dengan hasil menjual lukisannya. Sudah barang tentu dia tidak memiliki penghasilan tetap. Kakekmu memberitahu kepadanya bahwa dalam membina keluarga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun saat itu hanya melukislah yang bisa dilakukan oleh ayahmu. Lalu, kakek meminta maaf karena lamaran ayahmu kepadaku belum diterima, sebab ayahmu tidak memiliki pekerjaan tetap. Ayah menundukkan kepalanya, kulihat air mukanya ketika itu mirip sekali dengan air muka yang kau tunjukkan saat ini.” Suara guntur di langit kota semakin keras, titik per titik air hujan sudah meluncur turun menghajar tanah. Rafli mulai tertarik dengan cerita bundanya, yang bercerita juga bersemangat menceritakan kejadian seperempat abad yang lalu itu.

“Apakah kakek tidak suka dengan ayahmu? Tentu saja kakek sangat suka dengannya. Kakekmu tahu betul akan keteguhan hati serta kerja keras ayahmu. Kakekmu hanya menguji mentalnya. Kakekmu yakin bahwa ayahmu tidak akan menyerah begitu saja. Dan benar saja, setelah beberapa saat terbenam dalam kekecewaan, ayahmu menegakkan kepalanya lalu berkata kepada kakek ‘Maaf Pak, benar saat ini saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak berpenghasilan tinggi, namun saya berjanji akan bekerja keras untuk membahagiakan Shofia. Saya akan bekerja keras untuk itu, saya berjanji. Saya mencintainya saat pertama kali bertemu dengannya. Dan, dari pertemuan itulah saya yakin Shofia adalah perempuan yang terbaik bagiku dan anak-anakku kelak. Kumohon restuilah hubungan kami.’ Kau tahu Rafli? Ayahmu benar-benar mantap mengungkapkan kalimat tersebut. Hati bunda bergemuruh saat itu juga mendengar kalimat itu.” Hujan semakin deras di luar sana. Genting atap rumah semakin gaduh ditimpa jutaan tempias air hujan yang meluncur secara serempak dan simultan.

“Di akhir pertemuan itu, kakekmu tersenyum dan yakin bahwa laki-laki yang sedang di depannyalah yang terbaik untuk mendampingi putri semata wayangnya mengarungi sisa hidup ini. Pinangan ayahmu diterima. Raut muka kekecewaan yang tadi dia tampakkan berubah menjadi senyuman manis dari bibirnya. Dan, sampai saat ini, walau kehidupan kita sederhana namun bunda selalu bahagia berada disisi ayah. Selama berkeluarga, bunda tidak pernah dikecewakan oleh ayahmu. Ayahmu menepati janjinya, janji untuk selalu menyayangi dan membahagiakan keluarga ini. Bunda mencintainya. Mencintainya juga saat pertama kali bertemu.” Bunda menutup ceritanya.

“Oh iya, siapa nama gadis cantik yang membuatmu kusut begini? Pergilah, temui orang tuanya dan katakan seperti apa yang ayah katakan kepada kakekmu dua puluh lima tahun yang lalu.”  Bunda mengedipkan matanya sambil tersenyum ke Rafli.

Dan, secercah harapan menjemput janji kebahagiaan itu mulai tersibak kembali di hati Rafli.


Surabaya, 25 Februari 2013
10.00 a.m



Tidak ada komentar:

Posting Komentar