Rasanya nyesek banget dada ini kalau selalu ditanya hal – hal yang
nadanya menjurus ke arah ngebanding – bandingin kita dengan orang lain. “Harusnya
kamu tiru si itu,” “Sebaiknya sikapmu harus kayak si ini,” “Seandainya kamu
pinter seperti si anu.” Dibanding – bandingin seperti itu membuat aku pingin
muntah pizza saja. Hal tidak mengenakkan itu pernah terjadi kepadaku beberapa
kali. Sebenarnya, bukan aku ndak suka ditanya seperti itu, tapi kurang enak aja
kedengarannya di telinga (sama aja tau).
Contohnya nih ya, Mat Gofar (orang Inggris memanggilnya, Mc Gaffer),
kakak kelasku sewaktu kuliah. Aku kenalnya waktu dia jadi mahasiswa perbaikan
di kelasku, rambutnya kepalanya gondrong, rambut keteknya juga sama
gondrongnya. Mat Gofar ini tipe orang yang suka nyindir. Nah, karena udah
nyelesain urusan perkuliahannya, sim sala
bim, dia di wisuda juga bareng teman – teman sekelasku yang lain. Sedang
aku ? Masih harus berkutat dengan judul skripsi yang berkali – kali ditolak
karena tidak masuk akal katanya. Padahal menurutku judul skripsi yang kuajukan
sangat bagus dan terkesan bernilai intelektual tinggi. Misal :
- “Hubungan Antara Politik Islam dengan Kenaikan Harga Sandal Jepit”, Studi Kasus Pengambilan Kebijakan Ta’mir Masjid Al – Ihsan Menangani Maraknya Pencurian Sandal Jepit.
- “Dampak Kenaikan Harga Pentol Terhadap Belajar Mengajar di Kampus”.
Yah, gimana lagi ? Ditolak terus, padahal aku mendapatkan judul itu dari
hasil perenungan mendalam di Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Tapi tak apalah, judul
skripsi ditolak, mertua bertindak.
Walaupun masih belum lulus, aku tidak akan melewatkan prosesi wisuda
teman – teman sekelasku yang telah lebih dahulu mendahuluiku (emang wafat ?). Dan,
hari itu aku sengaja datang untuk memberikan support dan ucapan selamat kepada mereka walau dalam hati miris
juga belum lulus – lulus dengan usia seperti ini. Aku malu sama kumis yang udah
gondrong ini.
Di sela – sela prosesi kelulusan itu, tiba – tiba Mat Gofar menghampiriku
dengan toga yang dikenakannya. Entah apa maksudnya, namun sedetik kemudian dia
bertanya kepadaku, “Kapan nyusul kita - kita, hah? Harusnya kamu tiru kita –
kita yang lulus tahun ini.” Pertanyaan yang diucapkan dengan nada sedikit
berbau meremehkan. Kujawab aja sekenanya, “Tahun depan InsyaAllah, mas.” Eh, ndak
taunya dia malah menimpali, “Halah, paling – paling kamu gak lulus sampai
semester empat belas.” Ya ampun orang ini
nyebelin banget sih, orang dia juga molor satu tahun aja kok, batinku. Lalu
aku pergi meninggalkannya dengan cara pura - pura pipis di pinggir lapangan
(pura – pura lho ya).
Kejadian waktu acara wisuda itu sih sebenarnya sudah kulupakan dan sudah
kuharap tidak ada sindiran semacam itu lagi. Namun, kayaknya takdir menentukan
lain. De javu terulang kembali.
Ceritanya, waktu aku menghadiri acara pernikahannya Rani, teman sekelasku yang
sudah kelar kuliahnya. Saat itu, aku sedang enak – enaknya hunting makanan gratis ala pesta pernikahan (sebenarnya gak gratis
sih, kan aku
juga harus ngasih amplop), eh sekonyong – konyong ketemu lagi ama Mat Gofar
yang ketika itu bergandengan mesra dengan seorang gadis. Kayaknya sih pacarnya,
atau mungkin pembantunya. Aku menatapnya dengan senyum mengembang di bibir. Dia
membalasnya dengan senyuman khas orang yang jempol kakinya kelindas angkot.
Lalu, peristiwa mengenaskan itu terjadi lagi saat dia memulai pertanyaannya,
“Kapan nyusul Rani ?” Nah lho ! Terus dengan santai aku jawab “Kapan – kapan
aja mas, nunggu lulus kuliah dulu.” Tapi tidak dinyana dia berseloroh, “Kapan –
kapan itu kapan? Model anak kayak dirimu itu jarang ada cewek yang mau.” Busyet
dah, ini orang kok nyebelinnya minta ampun bener. Aku meninggalkan Mat Gofar
dengan muka suntuk dan tak berucap satu kata pun.
Sehabis memberikan selamat kepada kedua mempelai, aku pulang dengan satu
pertanyaan yang selalu menggelantung di kepalaku, kenapa sih setiap ketemu aku
kok orang - orang selalu bilang, “Kapan nyusul si ini?”, “Kapan nyusul si itu?”
Kan terserah
aku kapan aku nyusul siapa, orang juga hidup – hidupku sendiri kok. Tapi
kemudian aku akui bahwa kalimat tanya itu bisa berefek positif bila dimaknai
dengan positif juga. Asalkan untuk alasan kebaikan, seharusnya kalimat “Kapan
nyusul?” itu harus menjadi motivasi bagiku. Eh, akhir – akhirnya rasa jengkel
kepada Mat Gofar luntur secara perlahan. Bahkan aku harus berterimakasih
kepadanya, karena dia sudah “mencambukku” agar bisa segera menyelesaikan
kuliah, dan emm segera menikah jika
ada perempuan yang mau denganku.
Dua minggu kemudian aku dihubungi teman kuliah bahwa salah satu dosen terbaik
yang pernah mengajar di kelas kita meninggal dunia. Innalillahi wa innalillahi roji’un. Detik itu pula aku pergi
ta’ziah dirumah duka. Setelah itu aku dan teman – teman yang lainnya mengantar
jenazah ke pemakaman. Sedih sekali rasanya ditinggal orang sebaik beliau.
Rasanya baru kemarin beliau mengajar kami, sekarang sudah meninggalkan kami
untuk selamanya. Aku masih ingat saat dengan semangatnya beliau mengajarkan
mata kuliah Antropologi, senyumnya yang hangat saat mengawali perkuliahan,
serta tidak suka marah. Ah, kenapa orang
baik selalu cepat dipanggil, gumamku.
Sesaat setelah jenazah ditimbun oleh tanah, tidak sengaja aku melihat Mat
Gofar berdiri tidak jauh dariku.. Tidak seperti biasanya dia diam seribu bahasa.
Kali ini aku pergi menghampirinya. Lalu di atas pemakaman sang dosen, aku bertanya
kepada Mat Gofar, “Kapan nyusul pak dosen, mas?” Eh, dianya malah marah -
marah. Padahal, aku kan cuma bertanya apa yang biasa dia tanyakan ke
aku. Kok dia jadi sewot ?
Surabaya,
02 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar