Aku
Ingin Pulang
“...kadang
kau mencari kebahagiaan di berbagai tempat, padahal dia ada persis di depan
matamu...” (Pepatah Bijak)
Saat ini, aku
berada di salah satu kota terindah di dunia, namun aku hanya ingin pulang. Tawaran
pemandangan Menara London, Tower Bridge, Benteng Windsor, dan Thames River,
yang mempesona tidak membuatku merasakan kebahagiaan. Aku hanya ingin pulang.
Aku sungguh-sungguh ingin pulang.
“Kau tak apa-apa, Ben?” Toni menatapku setelah
keluar dari kamar mandi hotel. Wajahnya kelihatan segar sekali setelah mandi
dengan air hangat.
“Emm, ya, aku
baik-baik saja, Ton.” Ku usap lekuk pipiku yang basah oleh bulir-bulir air
mata. Toni menatapku sekali lagi, menyambungkan kedua alis matanya, menunjukkan
ekspresi penasaran.
“Benar kau
baik-baik saja, kawan?” Toni menghempaskan badannya ke sofa empuk, menatap raut
mukaku dengan penuh tanda tanya, aku mengangguk lemah.
“Baiklah, jika
kau tidak ada masalah, aku mau tidur dulu. Kau juga harus istirahat, Ben.
Bukankah besok pagi kau harus menghadiri pertemuan dengan kolega bisnismu?
Badanku lemas sekali karena seharian duduk manis di bangku pesawat. Untung saja
pramugarinya cantik-cantik. Kau ingat dengan pramugari yang bernama Rausa itu,
Ben? Wow, dia manis sekali. Andai tadi aku meminta nomor teleponnya.” Toni
tersenyum genit. Kulihat dia sangat menikmati perjalanan ini.
“Ton, aku
ingin pulang besok pagi.” Suaraku bergetar, menatap sendu Toni yang sedang merapikan bantalnya. Yang kuajak bicara
seketika tertegun, menolehkan wajahnya kepadaku dengan air muka keheranan.
“Apa yang kau
katakan, Ben?” Toni melipat dahinya.
“Aku ingin
pulang, Ton.” Aku menjawab ringan, suaraku masih bergetar.
“Kau jangan
bergurau, kawan.” Toni tersenyum, tidak percaya dengan apa yang kukatakan.
“Ton, aku serius.
Aku harus pulang besok pagi.” Pernyataanku membuat Toni melangkahkan kakinya
mendekat kepadaku. Aku masih tertuduk di sofa empuk yang menghadap tiga meter
persis di depan televisi.
“Oh, Tuhan,
ada apa ini? Bukankah kita baru sampai di London tadi sore, dan kau ingin
pulang ke Indonesia besok pagi. Bahkan kau belum menemui kolega kerjamu. Ada
apa denganmu, Ben?” Toni sedikit menaikkan frekuensi suaranya, aku hanya
menundukkan kepala.
“Aku harus
pulang, Ton. Aku harus pulang.” Suaraku mengeras. Aku melemparkan pandangan ke
arah lukisan yang terpajang di kamar, lukisan yang luar biasa indah. Namun,
saat ini aku tidak dapat menikmati estetika lukisan tersebut. Aku hanya ingin
pulang.
“Baiklah, kita
pulang besok pagi. Aku yang akan mengurus pembatalan pertemuan dengan klien
besok. Tapi maukah kau ceritakan kepadaku, apa yang terjadi padamu, kawan?”
Tangan kanan Toni menggenggam bahu kiriku, suaranya melemah. Aku menaikkan
pandangan, mengangguk.
London, setengah
jam yang lalu...
Waktu bergerak
merangkak dan hari Jum’at berhenti tepat di pertengahan bulan terakhir kalender
masehi. Jalanan kota ditimbuni salju, tupai-tupai di atas pohon mengintip takut
orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Manusia-manusia di luar sana
terlihat lebih gemuk karena jaket tebal yang dikenakannya. Aku dan Toni,
melintasi jalanan menuju hotel, dengan bibir gemetar kedinginan. Bagai
berjalanan di dalam lemari es saja.
Aku tersenyum
bahagia karena inilah impianku. Pergi ke London untuk mengaitkan jaring-jaring
relasi bisnisku di sini. Aku mengajak Toni, kawanku sejak SMU sekaligus
sekretarisku, di perusahaan otomotif yang kurintis delapan tahun yang lalu ini.
Bisnisku maju pesat setelah dua tahun aku menikah.
Aku tipe
pekerja keras, aku sangat terobsesi untuk menjadi kaya, memiliki rumah mewah,
mobil dan kehidupan yang berlebih lainnya. Itulah sebabnya aku bekerja seperti
orang kesetanan. Pagi siang malam, kuhabiskan waktuku di kantor. Bagiku, tidak
ada istilah hari sabtu dan minggu untuk menikmati akhir pekan. Tidak ada. Akhir
pekan selalu kugunakan untuk lembur atau menemui klien. Teman-temanku pernah
bilang kepadaku kalau aku bekerja seperti orang yang kerasukan, aku hanya
menanggapinya dengan tersenyum. Kini aku menuai hasilnya, perusahaanku
menggurita, memiliki karyawan yang banyak, rumah mewah, serta mobil istimewa.
Rasa-rasanya aku tidak pernah kesulitan untuk membeli sesuatu.
Dan, film yang
sedang kutonton ini telah menyadarkanku bahwa aku telah melupakan sesuatu yang
teramat penting di kehidupanku, dialah keluargaku.
Aku sedang
duduk di sofa empuk yang berhadapan dengan televisi. Sambil menunggu giliran
mandi air hangat yang masih digunakan oleh Toni, aku melepaskan lelah dengan
menonton film. Channel film berubah seketika saat aku menombol angka di remote
control. siaran olahraga, berita, dan seketika gerakan tanganku berhenti
pada satu channel saat film tersebut menayangkan adegan prosesi akad
pernikahan.
Di adegan itu,
setelah akad dan janji nikah terucap, penghulu memberikan khotbah nikah kepada
pengantin pria, “Setelah ikatan pernikahan ini terjalin, akan ada perempuan di
rumah yang rindu menunggumu pulang, dia menyiapkan makan malam terlezat yang
pernah dibuatnya untukmu. Setelah ikatan pernikahan ini akan ada seorang
perempuan yang akan ikut merasa sakit jika dirimu merasa sakit, ikut merasakan
sedih jika engkau bersedih, dan perempuan inilah yang pertama kali memberikanmu
senyuman hangat, saat engkau membuka kelopak matamu di pagi hari. Maka
jangan sakiti perempuan itu, karena dialah bagian dari jiwamu. Perempuan itu
tidak meminta balasan yang berlebih, dia hanya ingin diperhatikan, ditemani
seperti dia tulus menemanimu di semua keadaanmu.” Penghulu itu menutup
khotbahnya.
Menonton
adegan itu, tak terasa air mataku meleleh menuruni pipi. Aku teringat kepada
istriku di rumah. Aku merasa sangat egois karena aku tidak pernah ada waktu
untuknya, yang kupikirkan hanya karir, karir dan karir. Tidak sadar bahwa
setiap malam aku selalu mengecewakannya dengan tidak memakan masakan malamnya
karena aku sudah makan malam di restoran dengan kolega bisnis. Alasan kelelehan
sebab seharian bekerja di kantor membuatku tidak pernah ada waktu untuknya,
walau hanya sekedar mendengarkan curahan hatinya membesarkan anak-anak di
rumah. Dia membereskan sepatuku, membukakan dasiku, lalu aku menghempaskan
tubuh di atas kasur empukku lalu tidur begitu saja. Bibirnya selalu tersenyum
melihat wajah lelahku. Sekalipun dia tidak pernah memprotes. Tetapi aku baru
sadar bahwa dalam hatinya, dia ingin sekali berbincang denganku walau
sejenak.
Aku juga
merasa tidak menjadi seorang ayah yang baik bagi kedua anakku. Kemarin, Ken,
anakku yang pertama, menemuiku sebelum aku berangkat ke London, bertanya apakah aku
bisa menghadiri pertandingan final futsalnya akhir pekan ini, dia dipilih
menjadi kapten tim oleh pelatihnya. Ekspresi kekecewaan nampak dari wajahnya
saat aku menggeleng dan mengatakan bahwa aku harus bekerja selama lima hari ke
depan. Bagaimana aku bisa mengecewakan buah hatiku yang menggemaskan itu,
padahal banyak orang di luar sana yang masih kesulitan untuk memiliki anak. Kini,
aku sangat merindukan keluargaku, kerinduan yang memuncak hingga ke ubun-ubun.
Indonesia,
sehari setelahnya...
Setelah tujuh
belas jam yang melelahkan terbang dari Bandara Heathrow London, sejenak setelah
sampai di Bandara Soekarno-Hatta, aku melesat cepat ke rumah bagai peluru. Sesampai
di rumah, kuketuk pintu dan istriku yang membukakannya, dia melipat dahi,
bingung melihatku yang pulang jauh lebih awal dari agenda. Ku raih tubuhnya
sebelum dia menanyakan sesuatu, kupeluk erat tubuh perempuan yang selama
sembilan tahun ini menemani hidupku. Air mataku mengalir membasahi pakaiaannya.
Tak dapat kupungkiri bahwa sebenarnya dialah yang membuatku sukses seperti ini.
Untuk beberapa waktu, tak ada kata-kata yang terucap dariku maupun darinya.
Namun, kami dapat merasakan getaran rindu yang kuat yang terpendam dalam kedua
hati kami.
Satu lagi
tugas yang harus kuselesaikan hari ini. Menonton pertandingan final futsal,
Ken.
Surabaya, 07 Maret 2013
11.30 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar