Hanya Untuk Kepuasan Jiwa...

"Jika Anda ingin mengenal Dunia, maka Membacalah. Dan jika Anda ingin Dunia Mengenal Anda, maka Menulislah"
Sesuatu yang paling membahagiakan bagi jiwa ini adalah ketika dapat mengeluarkan segala potensi yang dipunya. dan menulis adalah salah satu sarana dalam mengeksplorasi kemampuan dengan mencatat segala pengalaman yang didapat agar bertambah ilmu yang dimiliki...
semoga tulisan ini dapat selalu menjadi manfaat minimal bagi diri sendiri dan bagi pembaca yang lain..

Rabu, 06 Maret 2013

Aku Ingin Pulang


Aku Ingin Pulang

“...kadang kau mencari kebahagiaan di berbagai tempat, padahal dia ada persis di depan matamu...” (Pepatah Bijak)

Saat ini, aku berada di salah satu kota terindah di dunia, namun aku hanya ingin pulang. Tawaran pemandangan Menara London, Tower Bridge, Benteng Windsor, dan Thames River, yang mempesona tidak membuatku merasakan kebahagiaan. Aku hanya ingin pulang. Aku sungguh-sungguh ingin pulang.

 “Kau tak apa-apa, Ben?” Toni menatapku setelah keluar dari kamar mandi hotel. Wajahnya kelihatan segar sekali setelah mandi dengan air hangat.

“Emm, ya, aku baik-baik saja, Ton.” Ku usap lekuk pipiku yang basah oleh bulir-bulir air mata. Toni menatapku sekali lagi, menyambungkan kedua alis matanya, menunjukkan ekspresi penasaran.

“Benar kau baik-baik saja, kawan?” Toni menghempaskan badannya ke sofa empuk, menatap raut mukaku dengan penuh tanda tanya, aku mengangguk lemah.

“Baiklah, jika kau tidak ada masalah, aku mau tidur dulu. Kau juga harus istirahat, Ben. Bukankah besok pagi kau harus menghadiri pertemuan dengan kolega bisnismu? Badanku lemas sekali karena seharian duduk manis di bangku pesawat. Untung saja pramugarinya cantik-cantik. Kau ingat dengan pramugari yang bernama Rausa itu, Ben? Wow, dia manis sekali. Andai tadi aku meminta nomor teleponnya.” Toni tersenyum genit. Kulihat dia sangat menikmati perjalanan ini.

“Ton, aku ingin pulang besok pagi.” Suaraku bergetar, menatap sendu Toni yang sedang  merapikan bantalnya. Yang kuajak bicara seketika tertegun, menolehkan wajahnya kepadaku dengan air muka keheranan.

“Apa yang kau katakan, Ben?” Toni melipat dahinya.

“Aku ingin pulang, Ton.” Aku menjawab ringan, suaraku masih bergetar.

“Kau jangan bergurau, kawan.” Toni tersenyum, tidak percaya dengan apa yang kukatakan.

“Ton, aku serius. Aku harus pulang besok pagi.” Pernyataanku membuat Toni melangkahkan kakinya mendekat kepadaku. Aku masih tertuduk di sofa empuk yang menghadap tiga meter persis di depan televisi.

“Oh, Tuhan, ada apa ini? Bukankah kita baru sampai di London tadi sore, dan kau ingin pulang ke Indonesia besok pagi. Bahkan kau belum menemui kolega kerjamu. Ada apa denganmu, Ben?” Toni sedikit menaikkan frekuensi suaranya, aku hanya menundukkan kepala.

“Aku harus pulang, Ton. Aku harus pulang.” Suaraku mengeras. Aku melemparkan pandangan ke arah lukisan yang terpajang di kamar, lukisan yang luar biasa indah. Namun, saat ini aku tidak dapat menikmati estetika lukisan tersebut. Aku hanya ingin pulang.

“Baiklah, kita pulang besok pagi. Aku yang akan mengurus pembatalan pertemuan dengan klien besok. Tapi maukah kau ceritakan kepadaku, apa yang terjadi padamu, kawan?” Tangan kanan Toni menggenggam bahu kiriku, suaranya melemah. Aku menaikkan pandangan, mengangguk.

London, setengah jam yang lalu...

Waktu bergerak merangkak dan hari Jum’at berhenti tepat di pertengahan bulan terakhir kalender masehi. Jalanan kota ditimbuni salju, tupai-tupai di atas pohon mengintip takut orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Manusia-manusia di luar sana terlihat lebih gemuk karena jaket tebal yang dikenakannya. Aku dan Toni, melintasi jalanan menuju hotel, dengan bibir gemetar kedinginan. Bagai berjalanan di dalam lemari es saja. 

Aku tersenyum bahagia karena inilah impianku. Pergi ke London untuk mengaitkan jaring-jaring relasi bisnisku di sini. Aku mengajak Toni, kawanku sejak SMU sekaligus sekretarisku, di perusahaan otomotif yang kurintis delapan tahun yang lalu ini. Bisnisku maju pesat setelah dua tahun aku menikah.

Aku tipe pekerja keras, aku sangat terobsesi untuk menjadi kaya, memiliki rumah mewah, mobil dan kehidupan yang berlebih lainnya. Itulah sebabnya aku bekerja seperti orang kesetanan. Pagi siang malam, kuhabiskan waktuku di kantor. Bagiku, tidak ada istilah hari sabtu dan minggu untuk menikmati akhir pekan. Tidak ada. Akhir pekan selalu kugunakan untuk lembur atau menemui klien. Teman-temanku pernah bilang kepadaku kalau aku bekerja seperti orang yang kerasukan, aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. Kini aku menuai hasilnya, perusahaanku menggurita, memiliki karyawan yang banyak, rumah mewah, serta mobil istimewa. Rasa-rasanya aku tidak pernah kesulitan untuk membeli sesuatu.

Dan, film yang sedang kutonton ini telah menyadarkanku bahwa aku telah melupakan sesuatu yang teramat penting di kehidupanku, dialah keluargaku.

Aku sedang duduk di sofa empuk yang berhadapan dengan televisi. Sambil menunggu giliran mandi air hangat yang masih digunakan oleh Toni, aku melepaskan lelah dengan menonton film. Channel film berubah seketika saat aku menombol angka di remote control. siaran olahraga, berita, dan seketika gerakan tanganku berhenti pada satu channel saat film tersebut menayangkan adegan prosesi akad pernikahan.

Di adegan itu, setelah akad dan janji nikah terucap, penghulu memberikan khotbah nikah kepada pengantin pria, “Setelah ikatan pernikahan ini terjalin, akan ada perempuan di rumah yang rindu menunggumu pulang, dia menyiapkan makan malam terlezat yang pernah dibuatnya untukmu. Setelah ikatan pernikahan ini akan ada seorang perempuan yang akan ikut merasa sakit jika dirimu merasa sakit, ikut merasakan sedih jika engkau bersedih, dan perempuan inilah yang pertama kali memberikanmu senyuman hangat, saat engkau membuka kelopak matamu di pagi hari. Maka jangan sakiti perempuan itu, karena dialah bagian dari jiwamu. Perempuan itu tidak meminta balasan yang berlebih, dia hanya ingin diperhatikan, ditemani seperti dia tulus menemanimu di semua keadaanmu.” Penghulu itu menutup khotbahnya. 

Menonton adegan itu, tak terasa air mataku meleleh menuruni pipi. Aku teringat kepada istriku di rumah. Aku merasa sangat egois karena aku tidak pernah ada waktu untuknya, yang kupikirkan hanya karir, karir dan karir. Tidak sadar bahwa setiap malam aku selalu mengecewakannya dengan tidak memakan masakan malamnya karena aku sudah makan malam di restoran dengan kolega bisnis. Alasan kelelehan sebab seharian bekerja di kantor membuatku tidak pernah ada waktu untuknya, walau hanya sekedar mendengarkan curahan hatinya membesarkan anak-anak di rumah. Dia membereskan sepatuku, membukakan dasiku, lalu aku menghempaskan tubuh di atas kasur empukku lalu tidur begitu saja. Bibirnya selalu tersenyum melihat wajah lelahku. Sekalipun dia tidak pernah memprotes. Tetapi aku baru sadar bahwa dalam hatinya, dia ingin sekali berbincang denganku walau sejenak.  

Aku juga merasa tidak menjadi seorang ayah yang baik bagi kedua anakku. Kemarin, Ken, anakku yang pertama, menemuiku sebelum aku berangkat ke London, bertanya apakah aku bisa menghadiri pertandingan final futsalnya akhir pekan ini, dia dipilih menjadi kapten tim oleh pelatihnya. Ekspresi kekecewaan nampak dari wajahnya saat aku menggeleng dan mengatakan bahwa aku harus bekerja selama lima hari ke depan. Bagaimana aku bisa mengecewakan buah hatiku yang menggemaskan itu, padahal banyak orang di luar sana yang masih kesulitan untuk memiliki anak. Kini, aku sangat merindukan keluargaku, kerinduan yang memuncak hingga ke ubun-ubun.

Indonesia, sehari setelahnya...

Setelah tujuh belas jam yang melelahkan terbang dari Bandara Heathrow London, sejenak setelah sampai di Bandara Soekarno-Hatta, aku melesat cepat ke rumah bagai peluru. Sesampai di rumah, kuketuk pintu dan istriku yang membukakannya, dia melipat dahi, bingung melihatku yang pulang jauh lebih awal dari agenda. Ku raih tubuhnya sebelum dia menanyakan sesuatu, kupeluk erat tubuh perempuan yang selama sembilan tahun ini menemani hidupku. Air mataku mengalir membasahi pakaiaannya. Tak dapat kupungkiri bahwa sebenarnya dialah yang membuatku sukses seperti ini. Untuk beberapa waktu, tak ada kata-kata yang terucap dariku maupun darinya. Namun, kami dapat merasakan getaran rindu yang kuat yang terpendam dalam kedua hati kami. 

Satu lagi tugas yang harus kuselesaikan hari ini. Menonton pertandingan final futsal, Ken.


Surabaya, 07 Maret 2013
11.30 am



Tidak ada komentar:

Posting Komentar