Cinta : Kau Dapat
Ubah Segalanya
Namanya Mia. Dia
duduk di kelas sepuluh saat aku siap-siap menghadapi Ujian Akhir Nasional Sekolah
Menengah Atas. Dia gadis yang manis.
Entah mengapa sejak pertama bertemu di perpustakaan saat itu, aku selalu memikirkannya.
Rasa-rasanya, aku telah menaruh hati kepadanya. Namun, ada masalah yang
membuatku sulit untuk mengenalnya lebih dekat. Mia anak yang populer di kelasnya, selain
parasnya yang menawan, prestasi akademiknya pun mantab. Dia juara di kelasnya. Itulah
yang membuat banyak teman-teman pria bahkan kakak kelas saling berebut cari
muka kepada Mia, berharap ada perhatian lebih yang mereka dapatkan dari gadis
yang satu ini.
Sedangkan aku?
Aku hanya seorang lelaki berumur delapan belas tahun yang berkacamata agak
tebal. Seorang yang setiap harinya berpakaian rapi dengan ujung baju dimasukkan
dalam celana bersabuk, rambut tersisir mulus ke samping dengan balutan minyak
yang kelemis. Bagi kebanyakan gadis, aku bukan tipe lelaki impian untuk diajak
jalan. Aku terkesan keluar dari pergaulan kebanyakan remaja lainnya. Membaca
buku saat pelajaran kosong, pergi ke kantin sejenak lalu meluncur ke
perpustakaan untuk menghabiskan jam istirahat menjadi rutinitas harianku di
sekolah.
Aku juga tipe orang yang terlalu malu untuk
mengungkapkan ekspresi dan perasaan. Sebenarnya, sejak kelas lima sekolah
dasar, aku bercita-cita sebagai seorang penulis. Aku suka menulis cerita pendek
di buku kecilku yang selalu kukantongi di saku baju sekolah. Sudah ada beberapa
cerita pendek sudah kubuat, namun aku tak pernah berani untuk mengirimkannya ke
redaksi sekolah untuk diterbitkan. Aku terlalu rendah diri, dan menganggap
semua tulisanku buruk dan tidak layak terbit, bahkan bila perlu aku harus
mengubur dalam-dalam impianku sebagai penulis. Hingga suatu ketika gadis manis
itu datang dan memercikkan api
keberanian dalam diriku.
“Apakah aku
boleh duduk di sini?” Dia berdiri di sampingku dengan membawa sepiring nasi
goreng di tangan kanan dan segelas es
kopyor di tangan kiri. Aku yang akan memasukkan suapan ke tiga nasi pecel ke
dalam mulutku, menolehkan kepala. Dan, betapa tertegunnya aku saat ku tahu
kalau Mia-lah pemilik suara itu. Ya Tuhan, dia gadis yang selama ini ada dalam pikiranku.
Untuk beberapa saat aku seperti orang yang terkena totok, tak bisa melakukan
apa-apa, persendianku lunglai, jantungku berdegup lebih kencang, bibirku kelu.
“Maaf, apakah
aku boleh duduk di sini? Soalnya semua bangku sudah ditempati.” Mia kembali
bertanya, aku yang ditanya menampakkan ekspresi gelagapan.
“Emm, jika
ingin duduk, silahkan ijin ibu kantin saja.” Dalam gugup aku berusaha bercanda
mencairkan suasana hatiku yang kikuk. Tapi, oh Tuhan, apa yang baru saja
kukatakan? Aku baru sadar kalau aku bukan tipe orang yang memiliki selera humor
yang bagus. Tapi diluar dugaan, Mia benar-benar mengikuti saran bodohku ini.
“Oh, memangnya
harus ijin ibu kantin terlebih dahulu ya? Baiklah.” Mia melangkah pergi ke arah
ibu kantin setelah meletakkan piring nasi goreng dan segelas es kopyornya di
atas meja. Lalu kulihat Mia berbisik-bisik dengan ibu kantin sambil menunjuk
bangku di sebelahku dengan jari telunjuk kanannya. Ibu kantin mengangguk
sembari tersenyum. Mia melangkah kepadaku, untuk beberapa saat aku lagi-lagi
seperti orang yang terkena totok. Diam.
“Aku sudah
ijin ke ibu kantin untuk duduk di bangku ini, dan beliau mengijinkan.” Mia
tersenyum simpul melihatku. Aku yang dilihat menundukkan kepala. Malu. Selera
humorku memang buruk. Mia memulai suapan pertamanya, aku meliriknya sekilas,
dia sangat cantik dan cara makannya anggun. Berada sedekat ini dengan Mia
adalah kejadian langka dan sulit untuk terulang kembali. Maka kukumpulkan segenap
keberanianku untuk menyatakan perasaanku kepadanya.
“Emm, Mia...”
Aku meremas-remas jariku yang basah oleh keringat.
“Iya? Kakak
tau namaku? Apakah kita pernah kenal sebelumnya?” Mia menghentikan suapan
ketiganya, menatapku penuh selidik. Mia benar, kita belum saling kenal. Selama
ini, hanya aku yang mencari tahu tentang Mia, rumahnya, tanggal lahirnya sampai
makanan kesukaannya. Tapi dia kan belum kenal aku? Aku merutuki diriku dalam
hati, menyesali perkataanku barusan. Aku seperti berkelahi dengan waktu,
pikiranku berputar-putar dengan cepat mencari jawaban yang logis. Jangan sampai
Mia tahu kalau selama ini diam-diam aku mencari tahu tentang dirinya.
“Emm, emm, aku
tahu namamu dari badge di bajumu.” Aku menyeka peluh di dahi.
“Oh, iya. Ada
apakah? Tadi sepertinya mau menyampaikan sesuatu kepadaku?” Mia sempurna menghadapkan
wajahnya kepadaku, membuat persendianku kembali lunglai. Bibirku kembali kelu.
Tapi aku harus mengungkapkan perasaanku selama ini kepadanya.
“Emm, nasi
gorengnya enak?” Hanya itu yang dapat kukatakan kepadanya
***
Jam sekolah
usai bersamaan dengan bunyi bel yang berdering tiga kali di luar kelas. Aku
memasukkan buku pelajaran ke dalam tas. Kurapikan baju dan kacamataku, lalu
berdiri melangkah ke luar kelas. Namun, tiba-tiba kulihat Mia berdiri di
samping pintu kelasku.
“Sepertinya
ini milikmu. Aku menemukan ini di bangku kantin, tadi.” Tangan Mia menyodorkan
buku kecil milikku yang biasa kubuat untuk menulis cerita pendek. Aku raih buku
kecilku, lalu ku ucapkan terimakasih kepadanya.
“Oh, iya.
Kumpulan cerita pendek kakak bagus-bagus. Kenapa tidak dikirimkan saja tulisan
–tulisan itu ke buletin sekolah.” Mia berbicara di depanku, aku mengangkat
pandangan, mengernyitkan dahi, bingung. Benarkah tulisanku bagus dan layak
untuk diterbitkan?
“Iya, tadi aku
sempat membaca beberapa tulisan kakak. Ceritanya bagus-bagus, aku tidak
menyangka kalau ada laki-laki yang bisa menulis cerita sebagus itu. Akan lebih
bagus lagi jika diterbitkan. Aku suka dengan seseorang yang pandai menulis, dan
aku senang sudah menjadi orang pertama yang membaca tulisan-tulisan kakak.” Mia
tersenyum kepadaku. Aku membetulkan kacamata, lalu pergi setelah ku ucapkan
terimakasih untuk yang kedua kali kepadanya.
Wahai, apakah
kalian pernah mendengar bahwa cinta dapat merubah segalanya? Cinta dapat merubah yang kikir menjadi
dermawan, yang kasar menjadi halus, dan yang lemah menjadi kuat. Aku telah
merasakannya. Setelah pertemuanku dengan Mia di depan pintu kelas itu, dan dia
mengatakan bahwa tulisanku bagus, seketika itu pulalah aku dapat memupuskan
rasa minder yang terjaring akut di dalam tubuhku, lalu menggantinya dengan
percikan percaya diri untuk menggapai cita-citaku menjadi penulis.
Besoknya, aku
beranikan diri untuk mengirimkan beberapa tulisanku ke redaksi jurnalis
sekolah. Perasaan luar biasa bahagia memancar dari dalam hatiku saat dua minggu
kemudian tulisanku di terbitkan di buletin sekolah. Sejak saat itulah sejarah
kepenulisanku dimulai. Setelah lulus sekolah, aku mencoba menulis beberapa
cerita untuk diterbitkan menjadi buku, kemudian setahun setelah terbit,
beberapa novelku menjadi best seller dipasaran. Dan, akhir-akhir ini aku
sering diundang di berbagai seminar kepenulisan.
Sayangnya, aku
tidak bisa menunjukkan keberhasilanku secara langsung kepada Mia. Sebab dua
bulan sebelum aku menghadapi ujian akhir, Mia pindah sekolah ke luar pulau,
ikut orang tua yang dipindahtugaskan oleh kantor tempat ayahnya bekerja. Kepergiaanya
yang mendadak, membuatku tidak bisa mengantarkannya pergi walau hanya sekedar
mengucap selamat tinggal. Sampai saat ini aku benar – benar kehilangan kontak
dengannya. Tapi dimanapun dia berada, aku ingin berterimakasih kepadanya, sebab
berkat dialah aku termotivasi untuk bisa menggenggam cita-cita ini.
Surabaya, 07 Maret 2013
11.00 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar