Kisah Sedih Bersama Tukang Parkir
Kadang, peristiwa yang dulunya membuat diri marah, frustasi sampai stress
dapat berubah menjadi bahan tertawaan jika diingat – ingat lagi kejadiannya.
Padahal, kerugian yang diakibatkan hal itu menguras biaya yang tidak sedikit.
Kawan, aku ingin berbagi pengalaman dengan kalian, dan semoga mendapatkan
banyak pembelajaran dari kisah konyolku ini.
Kisah ini terjadi saat awal kali aku diajari nyetir mobil oleh Ayah.
Namanya juga anak SMA, diajari nyetir mobil merupakan pengalaman hal yang
sangat membanggakan. Aku sangat bersemangat belajar mengemudi. Bukan tanpa
alasan mengapa aku sangat girang belajar menyetir mobil, karena aku
membayangkan siklus kehidupan yang akan kujalani ke depan jika aku sudah bisa
mengendarai mobil.
Pertama, setelah aku benar – benar mahir mengendarai mobil, aku akan
pamerkan kemampuanku kepada teman – teman sekolah, secara jarang sekali anak di
SMA ku yang bisa nyetir mobil karena kebanyakan hanya bisa nyetir becak. Yah,
walau nanti yang kubawa bukan mobil mewah, melainkan angkot buluk milik Ayah
yang biasa dipakai ngangkut bawang dan cabai di pasar.
Kedua, otomatis kalau aku sudah menunjukkan skill mengemudikan mobil,
minimal aku akan diperhitungkan oleh cewek – cewek untuk jadi gebetannya. Tapi
mungkin nanti nasib akan berkata lain, karena aku yakin mereka lebih suka naik
odong – odong daripada naik angkot buluk ini.
Ketiga, ini yang paling penting, aku akan dapat penghasilan tambahan
sebagai supir antar jemput anak sekolah. Namun sepertinya bisnis ilegalku ini
tidak akan sukses, sebab para orang tua murid pasti takut aku menculik anak –
anak mereka dengan alasan wajahku mirip dengan terdakwa kasus pencabulan sapi
di bawah umur seminggu yang lalu.
Sekarang hari pertama aku diajari nyetir mobil. Seperti pada umumnya,
pembelajaran diawali oleh teori mengemudi. Bagaimana mana memasukkan gigi,
bagaimana memegang setir secara efektif, bagaimana cara memarkirkan mobil,
sampai diajari bagaimana mengganti ban serep. Lalu, teori – teori itu ku
praktekkan dengan lancar, mulus, pertanda bahwa aku anak pinter dan biar kalau
sudah gede jadi dokter (lagu boneka Susan dan Kak Ria Enes mengalun dari
kejauhan). Akan tetapi, dari semua praktek yang kujalani, yang paling sulit
adalah memarkirkan mobil dengan berjalan mundur, alias return atau dalam bahasa Jawanya Atret. Sudah tak terhitung berapa banyak tukang becak kuserempet,
tak terhitung berapa banyak pula nona – nona manis harus bergelimpangan di
jalan karena terlindas mobilku. Semakin banyak korban yang berjatuhan akibat
ulahku, semakin banyak pula aku kena semprot Ayah.
Seminggu kemudian…
Dan, parking area mall X inilah yang menjadi saksi tuna wicara (baca :
bisu) dari puncak kemarahan Ayah atas kedunguanku memarkirkan mobil. Sebenarnya
ini bukan murni kesalahanku, ada pihak lain yang turut andil dalam kejadian
nahas ini, dialah si tukang parkir dodol. Hari itu, aku bersama semua anggota
keluarga pergi berbelanja, sekalian refreshing
katanya. Nah, kebetulan Ayah mempercayakan mobil barunya dikemudikan oleh anak
bau kencur, yaitu aku sendiri. Entah kemarin beliaunya bermimpi apa, kok tiba –
tiba menyuruh aku yang menyetir mobil. Mungkin Ayah mau memberikan pengalaman
yang lebih banyak kepadaku atau apalah, tapi yang jelas keputusan yang beliau
ambil salah besar. Karena sejak malam itu, mobil kesayangannya harus “opname”.
Ceritanya, waktu sudah masuk area parkir mall, ada seseorang berseragam
melambai – lambaikan tangannya kepadaku, mengisyaratkan aku untuk mengikuti
perintahnya. Ku kira orang itu pengemis, eh ternyata dia juru parkir mall. Cap
cus, aku injak pedal gas ke arah tukang parkir itu. Kemudian si tukang parkir
memerintahkan aku untuk memarkirkan mobil di tempat yang dia tunjuk, tempatnya
agak sempit, karena memang waktu itu parkiran sangat padat kendaraan. Tanpa
buang waktu, kujalankan mundur mobilku perlahan, di komandoi oleh si tukang
parkir dengan kata – kata “Terus… Terus…. Masih jauh…!” Yah, sebagai driver
pemula aku merasa nyaman dengan aba – aba itu, karena ada yang mengawasi mobil
agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan seperti menyerempet mobil
lain dan sebagainya. Perlahan - lahan aku memundurkan mobilku, namun kayaknya
si tukang parkir dodol tidak sabar melihat mobil berjalan seperti keong.
Perintahnya semakin keras dan tegas, “Teruuuuusss… Masih jauh mas….. Ayo
cepat!” merasa didesak, aku menambah kecepatan mobil, tapi alarm mobil sudah
berbunyi tanda di belakang mobil ada sesuatu benda, dan saat kutolehkan wajahku
ke belakang, benar sekali, aku melihat ada tembok besar berwarna hijau. Merasa
semakin dekat dengan tembok, kembali kuturunkan kecepatan, tapi lagi – lagi si
tukang parkir tidak sabar, dia kembali berteriak, “Teruuuuussss…. Masih jauh
temboknya…!” Kayaknya, si tukang parkir sudah kebelet pipis. Alarm semakin
berbunyi keras, sama kerasnya dengan suara si tukang parkir bilang “Teruuss…”
kurasa body belakang mobil sudah berjarak sangat dekat dengan tembok pembatas,
lalu ku rem mobil, namun lagi – lagi si tukang parkir masih bilang
“Teruuuuss….” Kumundurkan lagi mobilnya pelan semakin mendekat dengan tembok,
si tukang parkir masih bilang “Teruuus mundur…” kugas mundur lagi pelan,
semakin dekat dan semakin dekat jarak mobil dengan tembok, semakin dekat dengan
tembok semakin lantang pula si tukang parkir berteriak “Teruuus…” jantungku
mulai dag dig dug der. Semakin dekat, semakin dekat si tukang parkir masih
bilang “Teruus…” dan “BRUGGGG.” Suara
khas dari dua benda yang berbenturan dengan keras terdengar di telingaku,
sedetik kemudian kudengar suara si tukang parkir dodol yang berteriak “STOOOP…..” Terlambat. Mobilku sudah
menabrak tembok. Dan, aku harus menerima kenyataan bahwa body bagian belakang
mobilku ringsek alias penyok karena berbenturan dengan tembok. Aku turun dan
menyalahkan si tukang parkir tapi dia nyelonong pergi meninggalkan kami sambil
berseloroh, “Kan tadi aku sudah bilang STOP, kok malah diterusin.” Aku
menimpali, “Woy, tapi situ bilang STOP nya setelah mobilku kelar numbuk tembok,
tau.” Tapi, dengan ekspresi wajah tanpa dosa si tukang parkir terus aja ngibrit
pergi menjauhiku dan kayaknya dia bakal markir mobil lain yang baru datang.
Lalu kami sekeluarga meratapi kepenyokan body mobil, dengan membuat lingkaran
kecil dan tahlilan di area parkir mall sambil ngunyah sandal jepit.
Sudahlah, ndak usah ku ceritakan bagaimana ngomelnya Ayah lihat mobilnya
yang sekarat, karena kata – kata yang dilontarkan Ayah tidak baik dikonsumsi
buat anak usia lima
belas tahun kesamping. Tapi, jika diingat – ingat dan kuceritakan tentang
kejadian bersama si tukang parkir di mall itu, aku jadi ketawa – ketawa
sendiri, dengan alasan di jaman seperti ini kok masih ada orang yang telat mikir
(baca : telmi) seperti dia? Kalau seumpama dia hidup di jaman peperangan
melawan penjajah, mungkin setelah kepalanya tertembak oleh musuh, baru dia
tiarap dan berteriak “Awas ada musuh menembak…” Hehe.
Ini peringatan buat kalian para
driver pemula untuk hati – hati dalam mengemudikan mobil terutama saat
memarkirkan. Juga hati – hati di jalan, gak usah ngebut – ngebut di jalan deh karena
ngebut itu gak ada gunanya. Ingat prinsip yang satu ini : NGEBUT MENYEBABKAN
KEPALA BENJUT. Key, sekian dulu ya cerita konyol dari aku. Ini ceritaku, mana
ceritamu ?
Surabaya,
03 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar