Hanya Untuk Kepuasan Jiwa...

"Jika Anda ingin mengenal Dunia, maka Membacalah. Dan jika Anda ingin Dunia Mengenal Anda, maka Menulislah"
Sesuatu yang paling membahagiakan bagi jiwa ini adalah ketika dapat mengeluarkan segala potensi yang dipunya. dan menulis adalah salah satu sarana dalam mengeksplorasi kemampuan dengan mencatat segala pengalaman yang didapat agar bertambah ilmu yang dimiliki...
semoga tulisan ini dapat selalu menjadi manfaat minimal bagi diri sendiri dan bagi pembaca yang lain..

Minggu, 28 Oktober 2012

Disinilah aku merasa bahagia...


Disinilah Aku Merasakan Bahagia

Kamis, Pukul 09.00 wib
Sang surya sudah mulai menjauhi ufuk timur. Sinarnya pun mulai siap menyengat kulit-kulit yang tak terlindungi. Berbeda pada saat kulihat subuh hari tadi, saat sang raja siang ditemani gumpalan awan yang mengapas di atmosfer masih malu-malu merangkak naik melewati garis horizon, semburat warna jingga yang berpendar di langit – langit menciptakan lukisan alam yang membuat siapapun yang memandangnya akan terpesona dengan betapa ajaib rahasia perguliran siang dan malam.
Di masjid. Usai melaksanakan empat rokaat shalat dhuha, kutengadahkan kedua tangan melepaskan segala keluh kesah kepada Sang Pemilik nyawaku. Bulir demi bulir air mataku mengucur begitu saja tak terkendali. Tinggal dua hari lagi. Dua hari mungkin akan menjadi pembeda hidupku saat ini dengan masa mendatang.
Allah, waktu dhuha ini adalah milik-Mu.
Segala keagungan adalah milik-Mu.
Segala keindahan adalah milik-Mu.
Terdengar suara riang (kalau tidak disebut bising) siswa-siswi yang sedang menikmati waktu istirahat. Tujuh delapan anak kelas satu bergantian bermain seluncuran, sedang yang kelas empat sampai kelas enam lebih banyak bermain bola di lapangan tengah sekolah. Sambil menjilat es krim, sebagian siswi asyik bercanda dengan teman sejawatnya. Seru. Sementara di teras depan perpustakaan sekolah, terlihat sekitar enam orang anak tenggelam oleh cerita yang ada pada buku yang dibacanya.
Bahwa, segala kekuatan adalah milik-Mu.
Segala kekuasaan adalah milik-Mu.
Segala perlindungan adalah milik-Mu.
Ibu – ibu yang mengantar anaknya (biasanya kelas satu) duduk bercakap – cakap dengan ibu – ibu pengantar lainnya di teras masjid, satu dua kali kesempatan mereka melihat keadaan anaknya yang sedang asyik bermain perosotan di halaman sekolah, tak jarang pula mereka mengingatkan kepada buah hatinya untuk hati – hati saat bermain. Yang diingatkan tidak menghiraukan sedikitpun, terus saja bermain. Berceloteh riang bersama teman sejawatnya. 
            Ya Allah, jika rezekiku masih di atas langit, mohon turunkanlah.
            Jika masih ada di dalam bumi, mohon keluarkanlah.
            Cahaya matahari berpendar menerangi bumi di bagian timur, sorot sinarnya menemani manusia yang larut dalam rutinitas harian. Aku semakin tenggelam dalam kekhusukan ‘curhat’ kepada-Nya. Entah sudah berapa bulir air mata yang menetes membasahi mukenaku. Tinggal dua hari. Dua hari yang menentukan perjalananku ke depan. Namun, biarlah. Biarlah, Engkau saja yang berdaulat menentukan arah langkahku. Karena aku sangat yakin Engkau tahu mana yang tepat untuk memberikan yang terbaik.
Jika masih  sulit, mohon mudahkanlah.
            Jika masih haram, mohon sucikanlah.
Jika masih jauh, Ya Allah, maka dekatkanlah.
Entah mengapa, dengan melakukan sholat ‘pemancing’ rezeki ini, aku merasakan ada energi baru yang merasuk dalam jiwa dan mengalirkannya ke raga. Aku merasakan segala kepenatan dalam seperempat hari ini berganti kenikmatan serta kelapangan batin. Mungkin ini adalah salah satu bukti janji-Nya, bahwa siapa yang mendawamkan sholat dhuha, maka rezeki akan selalu mengalir. Bukankah kelapangan batin juga termasuk rezeki?
Limpahkan kepada kami keberkahan.
Seperti yang telah Engkau limpahkan kepada hamba – hamba-Mu yang shalih.     
Terlintas tentang momen ‘kesepakatan’ku dengannya dua bulan yang lalu. Juga terlintas wajah Ayah yang menatapku penuh makna saat mendengar jawabanku atasnya. Walau masih terasa berat kurasa, namun kali ini kucoba menaruh segenap harap kepada Sang Pembolak-balik hati ini. Jika ini yang terbaik bagiku dan keluargaku, walau berat akan aku lakukan. Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun. Daun yang tak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
***
Dua bulan yang lalu…
“Kalau Ustadzah Faizah mensetujui rencana ini. Maka pernikahan ini dapat dilaksanakan dua bulan lagi. Untuk segala keperluan dan persiapan, InsyaAllah keluarga kami yang akan mengaturnya.” Suara perempuan berusia sekitar setengah abad itu terdengar berwibawa. Aku yang diajak bicara hanya dapat menatapnya tenang.
Percakapan ini terjadi tepat di hari ke tujuh belas dalam bulan keempat kalender masehi atau dua hari sebelum aku berulang tahun yang ke dua puluh enam. Walau tak pernah menanyakannya secara langsung kepadaku, namun aku tahu bahwa Ayah pasti menginginkan putri sulungnya (aku) untuk segera berumah tangga. Beberapa kali beliau melihat tetangga menimang bayi, Ayah selalu berkata “Bahagia sekali kalau Ayah bisa mengendong cucu.” Aku hanya tersenyum ringan. Sebenarnya sebelum ini sudah ada dua orang yang memintaku agar menikah dengannya, namun aku menolak keduanya. Kulihat semburat rasa kecewa di air wajah Ayah saat mengetahui bahwa aku menolak keduanya waktu itu.
 “Aku masih ingin mengajar anak-anak, Yah.” Itu yang kukatakan kepada Ayah, dia hanya merespon alasanku dengan anggukan kepala. Dia tak pernah memaksaku secara verbal. Namun, aku selalu dapat merasakan aroma kekecewaannya. Ah, sudah dua kali aku membuatnya kecewa. Demi melihat wajahnya yang sendu, hatiku miris merasa bersalah takut tidak bisa membahagiakannya di dunia ini. Dan, aku berjanji pada diriku sendiri untuk segera memenuhi keinginannya itu.
 Dan, akhirnya kesempatan itu datang kembali. Ustadzah Laila, teman satu kantorku memberikan informasi bahwa ada salah satu temannya yang ingin meminangku. Dengan segala pertimbangan, aku mengiyakan untuk ber-ta’aruf, maka terjadilah pertemuan keluarga ini. Pertemuan ini merupakan yang ketiga kalinya aku dilamar seseorang. Aku sudah tidak ingin mengecawakan Ayah lagi.
 Namun, di saat keputusanku sudah bulat menerima lelaki berusia 27 tahun itu untuk menjadi suamiku. Kendala mulai muncul dengan persyaratan yang diajukan oleh keluarganya kepadaku. Keluarga lelaki ini ternyata keluarga pebisnis yang sukses, perusahaannya memiliki cabang hingga di seluruh kota di nusantara. Dan, rencananya jika sudah menikah mereka menginginkan aku bersama suamiku tinggal di Batam demi mengurus perusahaan keluarga yang ada di sana. Sebuah persyaratan yang bagaikan kerikil tajam menanti tepat di depan jalan hidupku. Ingin aku tolak persyaratan tersebut, tapi aku sudah  berjanji kepada diri sendiri bahwa aku tidak akan mengecewakan Ayah lagi. Sebuah penolakan dariku berarti kekecewaan bagi Ayah.
Ayah yang duduk di sampingku, menundukkan pandangannya ke lantai. Ayah sangat paham bahwa aku mencintai dunia pendidikan. Ayah juga paham bahwa aku bahagia menjadi bagian dari sekolah At-Taqwa. Menjadi bagian dari pendidik  putra-putri bangsa menjadi generasi Qur’ani. Dan, persyaratan untuk mengikuti suami tinggal di Batam, berarti aku harus meninggalkan sekolah ini, sekolah yang kucintai ini. Ayah tahu, aku sedang gamang. Oleh sebab itulah dia tidak berani menatapku apalagi memaksakan kehendaknya atasku. Mungkin dia sudah percaya bahwa aku dapat mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang.
Tiga menit berlalu tanpa jawaban yang jelas dariku…
“Bagaimana Ustadzah Faizah?” Suara wibawa perempuan paruh baya itu kembali mengisi ruang tamu rumahku.
“Umi, mungkin Faizah masih butuh pertimbangan. Jadi berikan kesempatan kepadanya untuk mengambil keputusan. Maafkan kami Faizah, jika dianggap terlalu memaksa.” Kali ini lelaki berusia 27 tahun itu yang mengambil alih pembicaraan. Perempuan yang dipanggil umi menganggukkan kepala, tanda setuju. Aku menatap lekat lelaki yang akan menjadi bakal calon pendamping hidupku, sepertinya dia terbiasa mencairkan suasana. Teh hangat yang ada kusajikan kepada tamuku ini sudah mulai dingin.
Ini tidak akan mudah. Tapi aku harus ambil keputusan.
Aku menghirup udara dalam – dalam, menahannya sebentar dalam dada, dan menghembuskannya pelan. Suara tak tik tok jam dinding terdengar cukup keras. Cicak yang merambat di dinding menghentikan aktivitasnya mencari makan, seakan ingin juga menguping keputusanku. Kupejamkan sebentar kedua bola mata dengan kelopak. Terlintas dalam pandangan mayaku bayangan anak – anak yang sedang menyambut kedatanganku di kelas, celoteh cadel menggemaskan dari sebagian mereka yang tak jarang membuatku tersenyum lebar.
Tuhan, mohon berikan aku yang terbaik. 
Bismillah…
“Baiklah, aku terima pinangan ini berserta persyaratan yang diajukan keluarga Umi kepadaku, dan kita akan atur jadwal pernikahannya…”
 Aku sudah mengatakannya. Aku sudah menerimanya. Menerima dengan syarat yang diberikan. Meninggalkan At-Taqwa. Ayah menaikkan pandangannya kepadaku, menatapku tanpa satu katapun, namun aku dapat menafsirkan tatapan itu : apakah kau yakin, Nak? Aku balas menatapnya dengan anggukan ringan. Lelaki berusia 27 tahun yang duduk di depanku mengucapkan syukur.  Satu sisi hatiku merasa bahagia, karena aku dapat menunaikan keinginan Ayah, namun sisi hatiku yang lain masih berat meninggalkan At-Taqwa. Meninggalkan lembaga pendidikan islam yang ada di Surabaya bagian barat ini.
“Apakah kamu yakin dengan keputusanmu, Nak?” Setelah mengantar keluarga calon besan hingga di halaman rumah, Ayah menatapku sendu. Ayah pasti mengerti bahwa tadi aku sangat sulit mengambil keputusan. Aku yang ditanya hanya tersenyum getir.
“Apakah kamu benar – benar siap meninggalkan At-Taqwa?” Aku bingung harus menjawab apa? Aku nyaman berada di tempatku mendidik saat ini, bertemu dan mengajari anak-anak yang masih polos dan lucu membuatku bahagia. Terus terang aku sepenuhnya belum siap meninggalkan At-Taqwa, sekolah yang jatuh bangun kami dirikan. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah berjanji untuk tidak membuat Ayahku kecewa lagi. Aku sudah berjanji untuk segera memenuhi keinginannya, yakni melihatku menikah.
“Iya, Yah.”
“Maafkan Ayah yang tidak bisa memberikan pilihan kepadamu, Nak.”
“Ayah, harusnya Faizah yang meminta maaf, karena sudah dua kali menolak pinangan laki-laki. Bukankah Ayah menginginkan agar aku bersegera menikah?”
“Maafkan Ayah.”
Hampir saja aku menangis dihadapan Ayah. Sebelum benar-benar mengucurkan air mata, aku membalikkan badan dan melangkah menuju kamar tidur.
“Faizah mau istirahat dulu ya, Yah.”
Tiba-tiba hatiku merasakan kerinduan yang teramat sangat kepada Ibu. Andaisaja Ibu masih hidup, aku ingin bertemu dengannya, sekedar memeluknya dan meluapkan keluh kesah yang mengumpal dalam hati. Aku mengambil wudhu, lalu kurebahkan badan di atas kasur, berharap secepatnya dapat tertidur. Dengan begitu, walau hanya dalam hitungan beberapa jam, aku dapat melupakan kegelisahanku. Ibu, apakah engkau di sana tahu bahwa saat ini aku sangat merindukanmu?
***
Kamis, Pukul 09.15 wib
Aku sudah duduk di teras depan perpustakaan, enam siswi yang kulihat dari dalam masjid masing – masing masih tenggelam dalam alur cerita buku yang dibaca. Mereka tidak merasa risih akan kehadiranku, malah ada yang mempersilahkanku duduk di sampingnya. Inilah yang kusuka menjadi seorang pendidik di At-Taqwa. Budaya egaliter yang dibuat sedemikian rupa oleh sekolah menjadikan siswa tidak merasa ada jarak secara emosi dengan para guru. Inilah pula yang membuat anak-anak lebih care mengungkapkan permasalahan belajarnya, tanpa takut diomeli oleh guru.
Para siswa kelas atas masih bersemangat bermain bola, setiap bola berpindah kaki, pemain lain berteriak-teriak agar diberi umpan. Seru sekali. Mungkin mereka tidak sadar kalau bulir-bulir keringat mulai bercucuran dari pori-pori kulit dan membasahi seragam putih hijau yang dipakai. Di sisi lapangan, anak-anak kelas bawah masih riang bergantian bermain seluncuran, tertawa lepas mengabaikan peringatan orang tua mereka agar selalu berhati – hati. Indah sekali hidup seperti mereka, riang bermain bersama, bergurau, tiada iri hati serta dengki, semuanya terasa damai.
“Ustadzah Faizah, Alif punya pelmen… ustadzah mau?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Aku sangat hafal siapa pemilik suara cadel ini. Tidak salah lagi, pastilah Arif Azzam, muridku yang lucu. Dia masih duduk di kelas satu. Walau masih kelas satu (dan belum benar-benar bisa mengucap huruf “R”), kemampuan menangkap pesan dari guru benar – benar menakjubkan.
 Dua minggu yang lalu aku mengisi pelajaran IPS di kelas yang ditempati Arif. Aku mengatakan bahwa berbagi itu dapat memperbanyak teman, disayang orang tua, dan yang paling penting disayang Allah, hingga pada akhirnya orang – orang yang suka berbagi akan memasuki surga. Aku juga menambahkan bahwa kalau di surga itu kita bisa memiliki apa saja yang kita mau.
“Belalti kalau sudah di sulga Alif bisa  punya helikoptel sendili, ya, Ustadzah?” Arif mantab mengacungkan tangannya. Aku yang ditanya mengangguk dibarengi senyum geli. Sejak saat itulah apapun yang dimilikinya pasti habis dibagi-bagikan. Seperti permen ini. Ibunda Arif pernah bilang kepadaku kalau setiap hari Arif merengek untuk dibelikan permen satu bungkus. Saat ditanya mengapa kok banyak sekali beli permen? Arif menjawab “Mau Alif bagi-bagikan ke teman – teman, Bial nanti Alif punya helipkoptel sendili. Begitu kata Ustadzah Faizah.” Aku dan Ibunda Arif tertawa geli mendengarnya.
 “Iya, Arif. Ustadzah mau minta permennya satu, boleh?”
Arif menjawabnya dengan anggukan kepala, lalu memberikan permen lollipop rasa coklat kepadaku.
“Terimakasih, anak shaleh.”
Lagi-lagi Arif menjawabnya dengan anggukan kepala. Lalu berlari meninggalkanku, mungkin misi menyebarkan permennya belum kelar.
Ah, tanyakan kepada semua pendidik yang berhati tulus. Apa yang paling membahagiakan di dunia ini? Aku berani menjamin jawabannya pasti saat pesan yang kita sampaikan benar-benar menghujam dalam benak siswa dan siswa bersemangat untuk mengaplikasikan pesan itu dalam perilaku kesehariannya. Seperti aku saat ini, aku sangat bahagia karena pesanku terejawantahkan oleh perilaku seorang Arif. Namun, mungkin dua hari lagi aku tidak akan bersama murid-muridku ini lagi.
***
Tubuhku melayang tepat di atas lahan yang lapang, lahan itu dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Mawar, melati, bunga matahari, anggrek, tulip menampakkan keindahannya masing-masing. Aroma yang dipancarkan oleh masing-masing bunga memanjakan indera penciumanku. Aku terus mengambang di awang-awang menikmati luas hamparan yang sepanjang mata memandang dipenuhi bunga – bunga yang sungguh luar biasa indahnya.
Tubuhku masih melayang – layang. Tiba-tiba ekor mataku menangkap sesosok perempuan bergamis putih cemerlang berdiri di dekat sekelompok bunga matahari, perempuan yang tak asing lagi dalam kehidupanku. Kutolehkan pandangan untuk memastikan, bukankah itu Ibu? Tubuhku masih melayang, perempuan itu tersenyum seraya melambaikan tangannya kepadaku sebagai isyarat kemarilah, Nak. Ibu, tidak salah lagi itu Ibu.
“Ibu…” Sekuat tenaga aku memanggilnya, yang kupanggil hanya tersenyum kepadaku. Aku berusaha untuk turun lagi ke tanah, namun tak bisa. Ku arahkan tubuhku yang melayang agar aku dapat memeluknya, namun tak bisa. Lambaian tangan Ibu membuatku semakin berusaha untuk lebih dekat dengannya, sekuat tenaga namun tetap nihil.
“Ibu…” Aku berteriak memanggilnya. Ibu hanya tersenyum kepadaku, wajah cantiknya berkilau tersaput cahaya.
“Ibu, aku merindukanmu, aku ingin sekali memelukmu.” Aku kembali berteriak, aku menangis, kenapa saat bertemu seperti ini aku tidak bisa lebih dekat dengan Ibuku. Aku merasa tubuhku sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain mengambang di awang-awang. Di bawah sana Ibu menatapku sendu.
“Apakah Ibu tahu, aku di sini selalu menanti dirimu? Menanti dapat bertemu kembali denganmu. Aku menunggumu hingga ujung waktu. Ibu, ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja, kumohon, Bu…” Aku berteriak, menangis. Kembali Ibu menatapku sendu, kali ini tanpa senyuman.
***
“Oi, calon kemanten anyar kok melamun saja sih?” Ustadzah Laksmi membuyarkan lamunanku tentang mimpiku bertemu Ibu kemarin malam.
Ada apa, Faizah?”
“Tidak ada apa-apa kok, Laksmi.”
“Tidak mungkin kalau tidak ada apa-apa. Ayolah, aku ini sahabatmu sejak kuliah, jadi aku tahu tentangmu. Kuperhatikan akhir-akhir ini kau sering melamun. Tidak biasanya aku melihat kau seperti ini. Ada apa?”
Ustadzah Laksmi adalah guru matematika di sekolah ini. Dulu, waktu masih sama – sama berstatus sebagai mahasiswa, kami sering bertemu dalam kegiatan Sie Kerohanian Islam (SKI) kampus. Aku bersahabat baik dengannya. Dia tipe teman yang care, periang, dan komunikatif (kalau tidak disebut cerewet). Lamanya waktu bersahabat dengannya, membuatku paham akan karakternya, masakan apa yang paling favorit baginya, serta binatang apa yang membuatnya ketakutan. Sebaliknya, dia juga mengerti sifat-sifatku, dan sisi-sisi lain dariku. Mangkanya, dia dapat menebak kalau saat ini aku pasti memiliki masalah.
“Entahlah, Laksmi.” Aku belum bisa memulai cerita ini darimana.
“Dua hari lagi kau akan menikah, harusnya kau bahagia, Faizah.”
“Tapi aku tidak bisa jika harus meninggalkan At-Taqwa, kawan.”
Matahari merangkak meninggi secara konstan, dan kini ia berada tepat di tengah garis katulistiwa. Dari lantai tiga, aku menatap lapangan sekolah yang tadi pagi di buat bermain bola oleh anak-anak. Di depan ruangan audio visual, tertampang banner bertuliskan : “Our Selves, Ibda’ Binafsik”.
Laksmi menjawil rusukku, terseyum geli, “Emm, kau memang guru teladan di sini, Faizah.
“Kau mencintai sekolah ini, kau juga sangat bahagia mengajar anak-anak. Dan, anak-anak sangat senang jika mata pelajarannya engkau yang mengisi. Pindah ke Batam bukanlah sesuatu yang kau inginkan, bukan?
“Kau sangat peduli dengan pendidikan Islam. Enam tahun yang lalu, mati-matian kau bersama pendiri At-Taqwa yang lainnya membesarkan sekolah ini. Pagi hingga siang hari kau rela berjalan  ke perumahan-perumahan untuk menyebarkan brosur Sekolah At-Taqwa secara door to door. Peluh bercururan membahasi jilbab lebarmu. Saat kutanya mengapa kau melakukan hal senekat itu? Apakah kau ingat apa jawabanmu kepadaku?”
***
Tentu saja aku ingat. Usiaku baru memasuki dua puluh tahun saat itu. Sedang usia At-Taqwa masih berbilang bulan. Waktu itu At-Taqwa hanya membuka kelas Taman Kanak-kanak. Bersama Laksmi, dan ketiga Ustadzah yang lainnya, kami berlima berinisiatif untuk ‘memasarkan’ sekolah ini secara door to door. Sejujurnya ini adalah inisiatifku. Awalnya teman-teman pesimistis, apakah cara yang dilakukan ini efektif, mengingat di Surabaya cukup banyak berdiri sekolah – sekolah islam yang memiliki reputasi mengkilap. Namun, aku meyakinkan mereka bahwa selama ada kemauan, maka di situ pastilah ada jalan.
 “Kalau bukan kita yang bergerak, siapa lagi yang akan mensyiarkan agama ini?” Kalimat itu meluncur dari bibirku saat Laksmi bertanya mengapa aku harus nekat door to door mengenalkan At-Taqwa kepada khalayak. Yang lainnya mengangguk setuju. Jadilah kami berlima mengeksekusi marketing dari perumahan satu ke perumahan yang lainnya.
Man Jadda Wa Jada, siapa bersungguh-sungguh dia akan berhasil. Itu pepatah Arab yang tidak bisa disangkal lagi kebenarannya. Terbukti setelah selama dua bulan kami mengenalkan At-Taqwa dari rumah ke rumah, dari perumahan ke perumahan, jumlah murid mulai bertambah secara signifikan.
Tapi masih ada yang kurang, begitu menurut Ustadzah Alfiah, bahwa lembaga ini butuh orang yang dapat memanage serta membuat kurikulum sekolah dengan baik. Maka kembali kami mencari orang yang tepat untuk menjadi direktur At-Taqwa. Akhirnya kami berkenalan dengan salah satu pendiri sekolah Islam ternama di Surabaya. Kami menawarinya menjadi direktur dan dia mengiyakannya. Perubahan demi perubahan yang positif terus terjadi, pendidikan berkarakter serta kurikulum Visi Semesta yang ditawarkan membuat para wali murid tidak ragu untuk menitipkan putra – putrinya belajar di sekolah ini.
***
“Kau sudah berhasil, Faizah. Kau sudah berhasil membangun satu lembaga pendidikan islam yang kuat. Kau lihat, usahamu membuahkan hasil.
“Lihatlah, murid – murid kita yang sangat membanggakan, dan itu tak lepas dari usahamu bersama saat membabat alas sekolah ini.” Laksmi memandangi pemandangan perumahan sekitar dari lantai tiga gedung sekolah.
“Aku akan selalu merindukan At-Taqwa.” Aku menatap Laksmi yang masih hikmat menatap pemandangan di luar sana. Demi mendengar suaraku yang berat, Laksmi mengarahkan tatapannya kepadaku.
“Kami akan merasa kehilanganmu, Faizah. Semoga kau bahagia di Batam. ”
Entah mengapa, akhir – akhir ini air mataku mudah sekali keluar dari kelenjar. seperti saat ini, aku sudah berkaca-kaca, Laksmi pun demikian.
***
Jum’at, Pukul 08.00 wib
Aku memasuki ruang kelas, hari ini aku mengajar mata pelajaran PKn. Sesuai kesepakatan dua bulan yang lalu, hari ini adalah hari terakhir aku mengajar di At-Taqwa, sebelum besok pagi aku harus menikah dan terbang ke Batam. Teman – teman di kantor banyak yang melipat dahi demi melihatku masih masuk kerja, padahal besok aku menikah. Aku katakan pada mereka, ini hari terakhir aku berada di Surabaya, setidaknya aku ingin berpamitan kepada murid-muridku. Mereka tersenyum. Ah, aku tidak mau melewatkan sedetikpun kedekatanku sedikitpun bersama anak-anak.
“Assalamualaikum anak-anak, hari ini Ustadzah Faizah akan bercerita…Dan, Ustadzah akan mulai bercerita jika kalian duduk dengan shalih.” Demi mendengar ceritaku anak-anak  yang masih gaduh segera merapikan diri masing – masing. Aku tersenyum geli melihat tingkah mereka. Sudah sangat alamiah bila anak-anak lebih suka pelajaran yang dibungkus dengan cerita – cerita atau dongeng. Jam dinding ber tak tik tok pelan, Air Conditioner mengembuskan udara segar bersuhu 23 derajat celcius, membuat seisi kelas nyaman pada tempat duduknya masing-masing.
“Baiklah, suatu ketika ada seorang raja yang ingin menguji ketiga pengawal setianya. Raja tersebut mengumumkan kepada ketiganya untuk mengikuti perlombaan. Lombanya sederhana, hanya menanam kacang hijau. Siapa yang dalam waktu tiga minggu bisa menumbuhkan batang paling panjang, dialah pemenangnya. Dan, bagi pemenang akan mendapatkan hadiah berupa rumah mewah dari sang raja.
“Lalu, sang raja memberikan satu biji kacang hijau kepada ketiga pengawalnya. Disaksikan oleh pejabat tinggi kerajaan, perlombaan pun dimulai.” Aku menatap wajah anak-anak yang antusias mendengarkan ceritaku, meraba-raba ending cerita. Teruskan Ustadzah, begitu maksud tatapan mereka.
“Satu dua hari mereka menanam biji kacang hijau pemberian raja ke dalam gelas berisi kapas, setiap harinya mereka siram biji tersebut. Itu dilakukan mereka secara terus menerus, rutin tanpa pernah meninggalkan biji kacang hijau sedetikpun.
“Tiga minggu berlalu. Saatnya mengumpulkan hasil kerja menanam biji kacang hijau. Raja sudah menunggu bagaimana hasil kerja keras ketiga pengawalnya tersebut. Maka dipanggillah pengawal pertama. Dengan wajah sumringah, pengawal pertama menujukkan kacang hijau dalam gelas, terlihat batangnya panjang menyembul keluar gelas. Lantas raja meyuruh petugas perlombaan untuk mengukur seberapa panjang batang tersebut. Setelah diukur ternyata batang kacang hijau itu mencapai 25 sentimeter. Para pejabat yang sedang menonton bertepuk tangan, raja berdehem, sedang pengawal pertama tersenyum puas.
“Tiba giliran melihat hasil kerja pengawal kedua. Dengan wajah yang tak kalah berbinar, sang pengawal kedua memperlihatkan hasil ketekunannya selama tiga minggu kepada raja. Ditunjukkan gelas berisi kacang hijau yang sudah menjadi kecambah, batangnya juga panjang hingga menyembul keluar gelas. Setelah diukur ternyata panjang batang kacang hijau milik pengawal kedua adalah 30 sentimeter. Penonton bertepuk tangan, pengawal kedua mengepalkan tangan membayangkan pasti dialah yang akan mendapatkan hadiah dari sang raja, sedangkan pengawal pertama lesu karena batang kacang hijau miliknya kalah panjang.
“Lantas, tibalah giliran pengawal ketiga. Berbeda dengan kedua pengawal tadi yang bersemangat memberikan hasil kerja menanam biji kacang hijau. Wajah si pengawal ketiga menyemburatkan ekspresi lesu, tidak bergairah. Sang raja menyuruh pengawal ketiga agar memperlihatkan hasil kerjanya. Akan tetapi yang diperlihatkan cuma gelas yang di dalamnya hanya ada kapas basah dan satu biji kacang hijau tanpa ada sesenti batangpun yang tumbuh. Pejabat kerajaan yang menonton melipat dahi, raja menatap pengawal ketiga lekat-lekat. Sementara pengawal kedua yang batang kacang hijaunya paling panjang tersenyum penuh kemenangan.”
“Sekarang Ustadzah Faizah mau bertanya kepada kalian, sampai di sini berarti siapakah pemenangnya?” Aku mamandangi satu per satu seisi kelas. Antusias sekali mereka mendengar cerita ini.
“Pengawal kedua, Ustadzah…” Jawab mereka koor. Aku tersenyum, polos sekali mereka.
“Mengapa kalian menduga bahwa pemenangnya adalah pengawal kedua?”
Rizki menggangkat telunjuk, “Karena batang kacang hijaunya paling panjang, Ustadzah.”
“Anak – anak, ternyata bukan pengawal kedua yang memenangkan perlombaan ini, melainkan yang pengawal ketiga.”
“Kenapa, Ustadzah? Bukankah pengawal ketiga tidak bisa menumbuhkan satu senti pun batang kacang hijau?” Kali ini Shafira mengangkat telunjuk. Aku bahagia karena kurikulum yang dibuat sekolah agar murid dapat berkomunikasi dengan baik sudah nampak berhasil.
“Begini anak-anak, ternyata biji kacang hijau yang diberikan raja kepada ketiga pengawalnya bukan biji kacang hijau asli, namun hanya sebuah tanah liat yang dibentuk mirip kacang hijau, hingga ketiganya tidak dapat mengetahui kalau itu bukan kacang hijau asli.
“Sebenarnya, di hari – hari pertama, ketiga pengawal sama – sama merawat biji kacang hijau palsu dengan rajin sekali. Pagi, siang, sore hari disiramilah biji kacang hijau palsu itu. Hingga pada hari ke empat, ketiga pengawal merasakan ada yang aneh pada biji kacang hijau tersebut. Biji kacang hijau itu tidak mau menumbuhkan batangnya walau sudah dirawat secara rutin selama empat hari. Karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh sang raja, maka pengawal pertama dan kedua, mengganti biji kacang hijau yang palsu dengan biji kacang hijau yang dibelinya di pasar, tentu saja tanpa ada yang mengetahui. Sedangkan pengawal ketiga tidak memiliki pemikiran yang sama dengan kedua temannya, dia terus saja menyirami biji kacang hijau palsu itu tanpa menggantinya.
“Raja tahu pasti kalau biji kacang hijau pemberiaanya tidak akan tumbuh. Karena sebenarnya, di perlombaan ini raja hanya ingin melihat seberapa jujur pengawal – pengawal yang dimilikinya. Maka setelah dua kali dibuat kecewa melihat dua pengawalnya berlaku tidak jujur dengan mengganti biji kacang hijau karena tergiur hadiah, raja kembali dibuat bangga oleh pengawal ketiga yang masih tetap jujur, tidak mengganti biji kacang hijau palsu walau dia yakin dia tidak akan memenangkan perlombaan.
“Dan, pada akhirnya raja memberikan hadiah kepada pengawal ketiga yang jujur itu dan mengangkatnya menjadi menteri kerajaan. Sedangkan dua orang pengawal yang tidak jujur diturunkan dari jabatannya.” Murid-muridku mengangguk-anggukkan kepala, lucu sekali melihatnya.
“Begitulah anak-anak orang yang jujur itu pasti selalu beruntung, jadi mulai saat ini  Ustadzah kepingin agar kalian selalu berlaku?”
“Jujuuuur….” Kembali mereka mengeluarkan suara koor dengan  penuh semangat.
“Ustadzah Faizah…” Putri mengacungkan telunjuknya.
“Iya, Nak?”
“Minggu depan, cerita lagi ya? Yang lebih seru…” Aku tercekat mendengarnya, padahal hari ini, usai jam pelajaran ini aku berencana untuk berpamitan kepada mereka. Aku ingin katakan kepada mereka sebuah salam perpisahan, namun demi melihat wajah polos yang penuh harap ini, aku membatalkan ucapan perpisahan itu. Jujur, aku tidak mampu. Mereka belum tahu bahwa aku akan menikah besok pagi dan akan meninggalkan Surabaya hari minggunya. Kuatkan aku, Tuhan.
***
“Assalamualaikum…” Kuketuk pintu rumahku yang masih tertutup. Tidak ada jawaban. Kuucapkan salam sekali lagi, berharap si empunya rumah (Ayah) menjawab salam lalu membukakan pintu untukku. Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Kulihat jam yang menempel di pergelangan tangan kiriku, sudah jam lima sore. Tidak biasanya Ayah tidak ada di rumah. Ah, mungkin beliau masih sibuk mempersiapkan walimah pernikahanku besok pagi. Iseng ku raih ganggang pintu, lalu menekannya ke bawah. Terbuka. Kenapa tak terkunci? Batinku bertanya. Lelah sedari tadi di sekolah membuatku malas berfikir kemana Ayah dan mengapa pintunya tak terkunci. Aku haus, aku ingin minum air dingin yang ada di lemari es, aku juga ingin merebahkan sejenak tubuhku di atas kasur sekedar melemaskan otot – otot tubuh yang tegang akibat aktivitas di sekolah tadi. Ku buka lemari es lalu kuambil botol sirup yang sudah berganti isi menjadi air putih. Tiba – tiba ekor mataku menangkap ada selembaran kertas di atas meja makan samping lemari es. Merasa penasaran, aku coba meraih kertas tersebut, aku tersedak melihat goresan tinta menyusun kalimat di kertas tersebut, ini tulisan tangan Ayah.
Ratih, bagaimana kabarmu di sana? Sudah sepuluh tahun kau meninggalkan kami di sini. Jujur, aku rindu sekali kepadamu. Tanpa kehadiranmu, kami selalu saja merasakan kekurangan. Ratih, Sabtu besok Faizah akan menikah. Namun aku merasa bersalah karena aku tidak memberikan pilihan kepadanya. Setelah menikah, dia akan tinggal di Batam, meninggalkan semua yang dia cintai di kota ini. Meninggalkanku, meninggalkan Sekolah At-Taqwa yang dia perjuangkan sedari awal. Aku merasa bersalah, karena setelah dikhitbah dia lebih banyak merenung. Mungkin dia sangat sedih karena harus meninggalkan At-Taqwa, meninggalkan dunia pendidikan  yang sangat dia cintai. 
Ratih, terimakasih sudah membesarkan Faizah dengan sepenuh kasih sayang. Apakah engkau tahu bahwa saat ini Faizah tumbuh menjadi perempuan yang tangguh? Semenjak sepeninggalmu, Faizah selalu berusaha membahagiakanku. Dia tidak ingin mengecewakanku, sebab itulah dia mengambil keputusan untuk menikah dan tinggal di Batam. Ratih, apakah engkau tahu bahwa Faizah selalu merindukanmu? Semalam dia memanggil-manggil namamu dalam tidur. Dia menangis dengan mata terpejam. Dia ingin bertemu denganmu walau hanya mimpi.
Andaikan kau masih ada di sini.
 ***
Kapal-kapal berjajar, berparkir rapi di sisi Dermaga Batam Centre. Sekelompok merpati berterbangan membelah awan yang menggumpal di langit. Satu dua kapal bergerak menjauhi pelabuhan, nakhoda kapal membunyikan klakson menyapa kapal lain, yang di sapa membalas dengan bunyi klakson yang sama. membuat ramai suasana dermaga. Di sisi timur terlihat hotel dan apartement yang menjulang tinggi. Belum lagi pemandangan pantai yang luarbiasa indah dan alami. Tak heran jika Batam semakin diminati turis yang ingin traveling di pulau ini setiap tahunnya.
Dua minggu sudah aku berada di pulau yang berdekatan dengan Singapura ini. Pernikahanku dua minggu yang lalu berjalan sangat lancar. Teman-teman di At-Taqwa datang memberikanku do’a barokah. Yang menjadi surprise adalah kedatangan murid-muridku, mereka berinisiatif untuk datang memberikan kado kepadaku. Aku tersenyum saat membuka isinya. Rumah yang kutinggali pun lebih dari layak (kalau tidak disebut mewah). Sejak satu minggu yang lalu, suamiku mulai aktif menjalankan bisnisnya.
“Dik, aku boleh bertanya sesuatu?” Suamiku memandangiku serius, menghentikan langkahnya menyusuri pantai, aku yang digandengnya terpaksa berhenti melangkah. Terpaan angin pantai membuat ujung jilbabku melambai.
“Tanya apa, Mas?”
“Sebelumnya aku minta maaf jika aku belum bisa menjadi suami yang pengertian, tapi aku berjanji akan belajar untuk itu”
“Mengapa, Mas berkata seperti itu?” Aku balik memandangi suamiku, melipat dahi.
“Faizah, aku ini suamimu. Apa yang kau pikirkan adalah pikiranku, apa yang kau sedihkan itu juga sedihku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku. Selama dua minggu kita menikah, aku belum pernah sekalipun melihat dirimu tersenyum, kau selalu murung. Dan, itu membuatku tersiksa merasa bersalah.” Terpaan ombak kecil membasahi kaki, memanjakan jari – jari.
“Maafkan aku, Mas.”
“Apa arti At-Taqwa di hatimu?” Demi mendengar pertanyaan suamiku, aku memandangnya lekat – lekat sembari melipat dahi. Mengapa tiba-tiba dia menyebut At-Taqwa?
“Maksud, Mas?” Aku melipat dahi.
“Isteriku, sudah kukatakan bahwa sedihmu adalah sedihku. Melihatmu selalu termangu membuatku gelisah dan selalu bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi pada dirimu akhir – akhir ini. Karena takut terjadi sesuatu pada dirimu, akhirnya kemarin aku memutuskan untuk menghubungi Ayah di Surabaya. Menjelaskan tentang keadaanmu selama dua minggu ini. Dan, dari Ayah pulalah kudapati bahwa kau rindu At-Taqwa.
“Maafkan aku yang tidak mengerti keadaanmu, tidak mengerti bahwa kau sangat menyukai pendidikan islam, bertemu anak-anak, bekerja dengan orang – orang yang sefaham. Tapi mengapa kau tidak mengatakannya sedari awal? Megapa kau tidak menolak persyaratan yang diajukan oleh Umi untuk tinggal di sini?” Suara suamiku terdengar tegas dan mantap. Debur ombak menggulung-gulung di tengah pantai, mulai mengecil saat akan menyentuh bibir pantai, dan hanya menjadi riak air saat menyentuh kaki.
“Aku takut jika menolak pernikahan kita batal, dan akhirnya akan mengecewakan Ayah kembali.” Kembali kerudungku di saput angin lembut. Melambai.
“Hehe, seharusnya kau katakan dari awal bahwa kau tidak ingin pindah ke Batam dengan alasan ingin mengabdikan diri menjadi guru di At-Taqwa, aku tidak akan keberatan. Karena aku menyukaimu saat kali pertama aku memandangmu. Itulah sebabnya aku meminta bantuan Laila untuk mengenalkanku kepadamu.” Kalimat terakhir suamiku membuat pipiku merona. Dia membalas dengan senyuman manis.
“Besok, kita pulang…”
“Pulang kemana?” Tanyaku.
“Kemana lagi? Ya, ke Surabaya. Kita akan tinggal di sana. Bukankah kau merindukan anak-anak? Atau begini saja, di Ayah kan sendirian tinggal di Surabaya. Bagaimana kalau kita juga tinggal bersama Ayah? Yah, hitung-hitung menemani Ayah di hari tuanya.”
“Bagaimana dengan bisnismu di sini?”
“Sayang, ini zaman sudah modern, aku bisa memantau bisnisku di sini lewat internet. Aku akan mengutus beberapa karyawanku untuk mengelola bisnisku di sini. Semuanya bisa diatur. Yang terpenting engkau bahagia.” Kupeluk tubuh bidang suamiku dengan sepenuh kegembiraan dan rasa syukur. Entah, mendengar kalimat suamiku, semangatku mulai bermekaran dalam hati. Semangat yang hilang semenjak ‘kesepakatan’ itu.
Tuhan, aku tahu kau tak pernah tidur. Kau tak pernah lelah mengurusi hamba-hamba-Mu, selalu mengetahui dan memberikan segala apa yang kami butuhkan. Tuhan, terimakasih Kau telah anugrahkan kepadaku keluarga yang baik, sahabat yang baik, dan murid-murid yang baik.
 Tuhan, Engkau tahu bahwa aku sangat mencintai At-Taqwa, lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan murid-muridnya agar berilmu pengetahuan yang luas, tetapi juga menanamkan nilai keimanan kepada-Mu agar tumbuh bersemi menjadi insan yang bertaqwa kepada-Mu. Menanamkan kepribadian sesuai dengan kepribadian Rasul-Mu yang mulia. Tuhan, saat aku mendengar celoteh cadel mereka, senyum canda mereka, serta memandangi wajah polos mereka, aku merasa ada sengatan semangat yang ada di dalam jiwa ini. Sengatan yang membuatku selalu berusaha untuk menjadi teladan yang baik bagi mereka. Hingga jika ada orang yang bertanya lagi kepadaku apa arti At-Taqwa di hatiku. Maka, dengan tegas akan kujawab, “Di sinilah aku merasakan bahagia.”  

Surabaya, 16 Oktober 2012






  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar