Hanya Untuk Kepuasan Jiwa...

"Jika Anda ingin mengenal Dunia, maka Membacalah. Dan jika Anda ingin Dunia Mengenal Anda, maka Menulislah"
Sesuatu yang paling membahagiakan bagi jiwa ini adalah ketika dapat mengeluarkan segala potensi yang dipunya. dan menulis adalah salah satu sarana dalam mengeksplorasi kemampuan dengan mencatat segala pengalaman yang didapat agar bertambah ilmu yang dimiliki...
semoga tulisan ini dapat selalu menjadi manfaat minimal bagi diri sendiri dan bagi pembaca yang lain..

Jumat, 08 Maret 2013

Cinta : Kau Dapat Ubah Segalanya



Cinta : Kau Dapat Ubah Segalanya

Namanya Mia. Dia duduk di kelas sepuluh saat aku siap-siap menghadapi Ujian Akhir Nasional Sekolah Menengah Atas.  Dia gadis yang manis. Entah mengapa sejak pertama bertemu di perpustakaan saat itu, aku selalu memikirkannya. Rasa-rasanya, aku telah menaruh hati kepadanya. Namun, ada masalah yang membuatku sulit untuk mengenalnya lebih dekat.  Mia anak yang populer di kelasnya, selain parasnya yang menawan, prestasi akademiknya pun mantab. Dia juara di kelasnya. Itulah yang membuat banyak teman-teman pria bahkan kakak kelas saling berebut cari muka kepada Mia, berharap ada perhatian lebih yang mereka dapatkan dari gadis yang satu ini. 

Sedangkan aku? Aku hanya seorang lelaki berumur delapan belas tahun yang berkacamata agak tebal. Seorang yang setiap harinya berpakaian rapi dengan ujung baju dimasukkan dalam celana bersabuk, rambut tersisir mulus ke samping dengan balutan minyak yang kelemis. Bagi kebanyakan gadis, aku bukan tipe lelaki impian untuk diajak jalan. Aku terkesan keluar dari pergaulan kebanyakan remaja lainnya. Membaca buku saat pelajaran kosong, pergi ke kantin sejenak lalu meluncur ke perpustakaan untuk menghabiskan jam istirahat menjadi rutinitas harianku di sekolah.

 Aku juga tipe orang yang terlalu malu untuk mengungkapkan ekspresi dan perasaan. Sebenarnya, sejak kelas lima sekolah dasar, aku bercita-cita sebagai seorang penulis. Aku suka menulis cerita pendek di buku kecilku yang selalu kukantongi di saku baju sekolah. Sudah ada beberapa cerita pendek sudah kubuat, namun aku tak pernah berani untuk mengirimkannya ke redaksi sekolah untuk diterbitkan. Aku terlalu rendah diri, dan menganggap semua tulisanku buruk dan tidak layak terbit, bahkan bila perlu aku harus mengubur dalam-dalam impianku sebagai penulis. Hingga suatu ketika gadis manis itu datang dan  memercikkan api keberanian dalam diriku.

“Apakah aku boleh duduk di sini?” Dia berdiri di sampingku dengan membawa sepiring nasi goreng  di tangan kanan dan segelas es kopyor di tangan kiri. Aku yang akan memasukkan suapan ke tiga nasi pecel ke dalam mulutku, menolehkan kepala. Dan, betapa tertegunnya aku saat ku tahu kalau Mia-lah pemilik suara itu. Ya Tuhan, dia gadis yang selama ini ada dalam pikiranku. Untuk beberapa saat aku seperti orang yang terkena totok, tak bisa melakukan apa-apa, persendianku lunglai, jantungku berdegup lebih kencang, bibirku kelu.

“Maaf, apakah aku boleh duduk di sini? Soalnya semua bangku sudah ditempati.” Mia kembali bertanya, aku yang ditanya menampakkan ekspresi gelagapan. 

“Emm, jika ingin duduk, silahkan ijin ibu kantin saja.” Dalam gugup aku berusaha bercanda mencairkan suasana hatiku yang kikuk. Tapi, oh Tuhan, apa yang baru saja kukatakan? Aku baru sadar kalau aku bukan tipe orang yang memiliki selera humor yang bagus. Tapi diluar dugaan, Mia benar-benar mengikuti saran bodohku ini.

“Oh, memangnya harus ijin ibu kantin terlebih dahulu ya? Baiklah.” Mia melangkah pergi ke arah ibu kantin setelah meletakkan piring nasi goreng dan segelas es kopyornya di atas meja. Lalu kulihat Mia berbisik-bisik dengan ibu kantin sambil menunjuk bangku di sebelahku dengan jari telunjuk kanannya. Ibu kantin mengangguk sembari tersenyum. Mia melangkah kepadaku, untuk beberapa saat aku lagi-lagi seperti orang yang terkena totok. Diam.

“Aku sudah ijin ke ibu kantin untuk duduk di bangku ini, dan beliau mengijinkan.” Mia tersenyum simpul melihatku. Aku yang dilihat menundukkan kepala. Malu. Selera humorku memang buruk. Mia memulai suapan pertamanya, aku meliriknya sekilas, dia sangat cantik dan cara makannya anggun. Berada sedekat ini dengan Mia adalah kejadian langka dan sulit untuk terulang kembali. Maka kukumpulkan segenap keberanianku untuk menyatakan perasaanku kepadanya. 

“Emm, Mia...” Aku meremas-remas jariku yang basah oleh keringat.

“Iya? Kakak tau namaku? Apakah kita pernah kenal sebelumnya?” Mia menghentikan suapan ketiganya, menatapku penuh selidik. Mia benar, kita belum saling kenal. Selama ini, hanya aku yang mencari tahu tentang Mia, rumahnya, tanggal lahirnya sampai makanan kesukaannya. Tapi dia kan belum kenal aku? Aku merutuki diriku dalam hati, menyesali perkataanku barusan. Aku seperti berkelahi dengan waktu, pikiranku berputar-putar dengan cepat mencari jawaban yang logis. Jangan sampai Mia tahu kalau selama ini diam-diam aku mencari tahu tentang dirinya.

“Emm, emm, aku tahu namamu dari badge di bajumu.” Aku menyeka peluh di dahi.

“Oh, iya. Ada apakah? Tadi sepertinya mau menyampaikan sesuatu kepadaku?” Mia sempurna menghadapkan wajahnya kepadaku, membuat persendianku kembali lunglai. Bibirku kembali kelu. Tapi aku harus mengungkapkan perasaanku selama ini kepadanya.

“Emm, nasi gorengnya enak?” Hanya itu yang dapat kukatakan kepadanya

***

Jam sekolah usai bersamaan dengan bunyi bel yang berdering tiga kali di luar kelas. Aku memasukkan buku pelajaran ke dalam tas. Kurapikan baju dan kacamataku, lalu berdiri melangkah ke luar kelas. Namun, tiba-tiba kulihat Mia berdiri di samping pintu kelasku. 

“Sepertinya ini milikmu. Aku menemukan ini di bangku kantin, tadi.” Tangan Mia menyodorkan buku kecil milikku yang biasa kubuat untuk menulis cerita pendek. Aku raih buku kecilku, lalu ku ucapkan terimakasih kepadanya.  

“Oh, iya. Kumpulan cerita pendek kakak bagus-bagus. Kenapa tidak dikirimkan saja tulisan –tulisan itu ke buletin sekolah.” Mia berbicara di depanku, aku mengangkat pandangan, mengernyitkan dahi, bingung. Benarkah tulisanku bagus dan layak untuk diterbitkan?

“Iya, tadi aku sempat membaca beberapa tulisan kakak. Ceritanya bagus-bagus, aku tidak menyangka kalau ada laki-laki yang bisa menulis cerita sebagus itu. Akan lebih bagus lagi jika diterbitkan. Aku suka dengan seseorang yang pandai menulis, dan aku senang sudah menjadi orang pertama yang membaca tulisan-tulisan kakak.” Mia tersenyum kepadaku. Aku membetulkan kacamata, lalu pergi setelah ku ucapkan terimakasih untuk yang kedua kali kepadanya.

Wahai, apakah kalian pernah mendengar bahwa cinta dapat merubah segalanya?  Cinta dapat merubah yang kikir menjadi dermawan, yang kasar menjadi halus, dan yang lemah menjadi kuat. Aku telah merasakannya. Setelah pertemuanku dengan Mia di depan pintu kelas itu, dan dia mengatakan bahwa tulisanku bagus, seketika itu pulalah aku dapat memupuskan rasa minder yang terjaring akut di dalam tubuhku, lalu menggantinya dengan percikan percaya diri untuk menggapai cita-citaku menjadi penulis. 

Besoknya, aku beranikan diri untuk mengirimkan beberapa tulisanku ke redaksi jurnalis sekolah. Perasaan luar biasa bahagia memancar dari dalam hatiku saat dua minggu kemudian tulisanku di terbitkan di buletin sekolah. Sejak saat itulah sejarah kepenulisanku dimulai. Setelah lulus sekolah, aku mencoba menulis beberapa cerita untuk diterbitkan menjadi buku, kemudian setahun setelah terbit, beberapa novelku menjadi best seller dipasaran. Dan, akhir-akhir ini aku sering diundang di berbagai seminar kepenulisan.

Sayangnya, aku tidak bisa menunjukkan keberhasilanku secara langsung kepada Mia. Sebab dua bulan sebelum aku menghadapi ujian akhir, Mia pindah sekolah ke luar pulau, ikut orang tua yang dipindahtugaskan oleh kantor tempat ayahnya bekerja. Kepergiaanya yang mendadak, membuatku tidak bisa mengantarkannya pergi walau hanya sekedar mengucap selamat tinggal. Sampai saat ini aku benar – benar kehilangan kontak dengannya. Tapi dimanapun dia berada, aku ingin berterimakasih kepadanya, sebab berkat dialah aku termotivasi untuk bisa menggenggam cita-cita ini. 


Surabaya, 07 Maret 2013
11.00 pm
















Rabu, 06 Maret 2013

Aku Ingin Pulang


Aku Ingin Pulang

“...kadang kau mencari kebahagiaan di berbagai tempat, padahal dia ada persis di depan matamu...” (Pepatah Bijak)

Saat ini, aku berada di salah satu kota terindah di dunia, namun aku hanya ingin pulang. Tawaran pemandangan Menara London, Tower Bridge, Benteng Windsor, dan Thames River, yang mempesona tidak membuatku merasakan kebahagiaan. Aku hanya ingin pulang. Aku sungguh-sungguh ingin pulang.

 “Kau tak apa-apa, Ben?” Toni menatapku setelah keluar dari kamar mandi hotel. Wajahnya kelihatan segar sekali setelah mandi dengan air hangat.

“Emm, ya, aku baik-baik saja, Ton.” Ku usap lekuk pipiku yang basah oleh bulir-bulir air mata. Toni menatapku sekali lagi, menyambungkan kedua alis matanya, menunjukkan ekspresi penasaran.

“Benar kau baik-baik saja, kawan?” Toni menghempaskan badannya ke sofa empuk, menatap raut mukaku dengan penuh tanda tanya, aku mengangguk lemah.

“Baiklah, jika kau tidak ada masalah, aku mau tidur dulu. Kau juga harus istirahat, Ben. Bukankah besok pagi kau harus menghadiri pertemuan dengan kolega bisnismu? Badanku lemas sekali karena seharian duduk manis di bangku pesawat. Untung saja pramugarinya cantik-cantik. Kau ingat dengan pramugari yang bernama Rausa itu, Ben? Wow, dia manis sekali. Andai tadi aku meminta nomor teleponnya.” Toni tersenyum genit. Kulihat dia sangat menikmati perjalanan ini.

“Ton, aku ingin pulang besok pagi.” Suaraku bergetar, menatap sendu Toni yang sedang  merapikan bantalnya. Yang kuajak bicara seketika tertegun, menolehkan wajahnya kepadaku dengan air muka keheranan.

“Apa yang kau katakan, Ben?” Toni melipat dahinya.

“Aku ingin pulang, Ton.” Aku menjawab ringan, suaraku masih bergetar.

“Kau jangan bergurau, kawan.” Toni tersenyum, tidak percaya dengan apa yang kukatakan.

“Ton, aku serius. Aku harus pulang besok pagi.” Pernyataanku membuat Toni melangkahkan kakinya mendekat kepadaku. Aku masih tertuduk di sofa empuk yang menghadap tiga meter persis di depan televisi.

“Oh, Tuhan, ada apa ini? Bukankah kita baru sampai di London tadi sore, dan kau ingin pulang ke Indonesia besok pagi. Bahkan kau belum menemui kolega kerjamu. Ada apa denganmu, Ben?” Toni sedikit menaikkan frekuensi suaranya, aku hanya menundukkan kepala.

“Aku harus pulang, Ton. Aku harus pulang.” Suaraku mengeras. Aku melemparkan pandangan ke arah lukisan yang terpajang di kamar, lukisan yang luar biasa indah. Namun, saat ini aku tidak dapat menikmati estetika lukisan tersebut. Aku hanya ingin pulang.

“Baiklah, kita pulang besok pagi. Aku yang akan mengurus pembatalan pertemuan dengan klien besok. Tapi maukah kau ceritakan kepadaku, apa yang terjadi padamu, kawan?” Tangan kanan Toni menggenggam bahu kiriku, suaranya melemah. Aku menaikkan pandangan, mengangguk.

London, setengah jam yang lalu...

Waktu bergerak merangkak dan hari Jum’at berhenti tepat di pertengahan bulan terakhir kalender masehi. Jalanan kota ditimbuni salju, tupai-tupai di atas pohon mengintip takut orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Manusia-manusia di luar sana terlihat lebih gemuk karena jaket tebal yang dikenakannya. Aku dan Toni, melintasi jalanan menuju hotel, dengan bibir gemetar kedinginan. Bagai berjalanan di dalam lemari es saja. 

Aku tersenyum bahagia karena inilah impianku. Pergi ke London untuk mengaitkan jaring-jaring relasi bisnisku di sini. Aku mengajak Toni, kawanku sejak SMU sekaligus sekretarisku, di perusahaan otomotif yang kurintis delapan tahun yang lalu ini. Bisnisku maju pesat setelah dua tahun aku menikah.

Aku tipe pekerja keras, aku sangat terobsesi untuk menjadi kaya, memiliki rumah mewah, mobil dan kehidupan yang berlebih lainnya. Itulah sebabnya aku bekerja seperti orang kesetanan. Pagi siang malam, kuhabiskan waktuku di kantor. Bagiku, tidak ada istilah hari sabtu dan minggu untuk menikmati akhir pekan. Tidak ada. Akhir pekan selalu kugunakan untuk lembur atau menemui klien. Teman-temanku pernah bilang kepadaku kalau aku bekerja seperti orang yang kerasukan, aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. Kini aku menuai hasilnya, perusahaanku menggurita, memiliki karyawan yang banyak, rumah mewah, serta mobil istimewa. Rasa-rasanya aku tidak pernah kesulitan untuk membeli sesuatu.

Dan, film yang sedang kutonton ini telah menyadarkanku bahwa aku telah melupakan sesuatu yang teramat penting di kehidupanku, dialah keluargaku.

Aku sedang duduk di sofa empuk yang berhadapan dengan televisi. Sambil menunggu giliran mandi air hangat yang masih digunakan oleh Toni, aku melepaskan lelah dengan menonton film. Channel film berubah seketika saat aku menombol angka di remote control. siaran olahraga, berita, dan seketika gerakan tanganku berhenti pada satu channel saat film tersebut menayangkan adegan prosesi akad pernikahan.

Di adegan itu, setelah akad dan janji nikah terucap, penghulu memberikan khotbah nikah kepada pengantin pria, “Setelah ikatan pernikahan ini terjalin, akan ada perempuan di rumah yang rindu menunggumu pulang, dia menyiapkan makan malam terlezat yang pernah dibuatnya untukmu. Setelah ikatan pernikahan ini akan ada seorang perempuan yang akan ikut merasa sakit jika dirimu merasa sakit, ikut merasakan sedih jika engkau bersedih, dan perempuan inilah yang pertama kali memberikanmu senyuman hangat, saat engkau membuka kelopak matamu di pagi hari. Maka jangan sakiti perempuan itu, karena dialah bagian dari jiwamu. Perempuan itu tidak meminta balasan yang berlebih, dia hanya ingin diperhatikan, ditemani seperti dia tulus menemanimu di semua keadaanmu.” Penghulu itu menutup khotbahnya. 

Menonton adegan itu, tak terasa air mataku meleleh menuruni pipi. Aku teringat kepada istriku di rumah. Aku merasa sangat egois karena aku tidak pernah ada waktu untuknya, yang kupikirkan hanya karir, karir dan karir. Tidak sadar bahwa setiap malam aku selalu mengecewakannya dengan tidak memakan masakan malamnya karena aku sudah makan malam di restoran dengan kolega bisnis. Alasan kelelehan sebab seharian bekerja di kantor membuatku tidak pernah ada waktu untuknya, walau hanya sekedar mendengarkan curahan hatinya membesarkan anak-anak di rumah. Dia membereskan sepatuku, membukakan dasiku, lalu aku menghempaskan tubuh di atas kasur empukku lalu tidur begitu saja. Bibirnya selalu tersenyum melihat wajah lelahku. Sekalipun dia tidak pernah memprotes. Tetapi aku baru sadar bahwa dalam hatinya, dia ingin sekali berbincang denganku walau sejenak.  

Aku juga merasa tidak menjadi seorang ayah yang baik bagi kedua anakku. Kemarin, Ken, anakku yang pertama, menemuiku sebelum aku berangkat ke London, bertanya apakah aku bisa menghadiri pertandingan final futsalnya akhir pekan ini, dia dipilih menjadi kapten tim oleh pelatihnya. Ekspresi kekecewaan nampak dari wajahnya saat aku menggeleng dan mengatakan bahwa aku harus bekerja selama lima hari ke depan. Bagaimana aku bisa mengecewakan buah hatiku yang menggemaskan itu, padahal banyak orang di luar sana yang masih kesulitan untuk memiliki anak. Kini, aku sangat merindukan keluargaku, kerinduan yang memuncak hingga ke ubun-ubun.

Indonesia, sehari setelahnya...

Setelah tujuh belas jam yang melelahkan terbang dari Bandara Heathrow London, sejenak setelah sampai di Bandara Soekarno-Hatta, aku melesat cepat ke rumah bagai peluru. Sesampai di rumah, kuketuk pintu dan istriku yang membukakannya, dia melipat dahi, bingung melihatku yang pulang jauh lebih awal dari agenda. Ku raih tubuhnya sebelum dia menanyakan sesuatu, kupeluk erat tubuh perempuan yang selama sembilan tahun ini menemani hidupku. Air mataku mengalir membasahi pakaiaannya. Tak dapat kupungkiri bahwa sebenarnya dialah yang membuatku sukses seperti ini. Untuk beberapa waktu, tak ada kata-kata yang terucap dariku maupun darinya. Namun, kami dapat merasakan getaran rindu yang kuat yang terpendam dalam kedua hati kami. 

Satu lagi tugas yang harus kuselesaikan hari ini. Menonton pertandingan final futsal, Ken.


Surabaya, 07 Maret 2013
11.30 am



Jumat, 01 Maret 2013

Menjemput Janji Kebahagiaan

Menjemput Janji Kebahagiaan

Pagi itu, Minggu, 19 Februari. Langit begitu berbeda dari biasanya. Rupa-rupanya awan abu-abu pekat seperti berkonspirasi menghalangi sinar matahari yang menerobos masuk ke jantung kota. Jalanan gelap. Mendung. Membuat pengendara motor di jalan kompak menyalakan lampu kendaraannya. 

Para mama di rumah melarang anak-anak untuk keluar rumah, takut hujan deras serta angin yang kencang mencelakakan mereka. Yang dilarang justru menggerutu dongkol, padahal mereka sudah mempersiapkan hari libur ini (bahkan saking senangnya menyambut hari ini sampai  ada yang tidak bisa tidur semalaman) dengan bersepeda dengan teman sejawatnya. Merutuki cuaca yang tak bersahabat ini saat mama mereka memaksa memasukkan sepeda ke dalam rumah. Tak ada cara lain bagi mereka selain berharap semoga cuaca kembali membaik.

Pagi itu, mendung juga menggelanyut di hati Rafli. Di dalam kamarnya saat ini dia hanya bisa menundukkan kepala. Janji kebahagiaan yang selama tiga bulan dia rajut bersama pujaan hatinya harus luruh bagai daun – daun kering yang ditercerabut dari tangkainya oleh angin di luar sana. Rafli mengangkat kepalanya, otak menginstruksikan kedua bola mata Rafli melirik ponsel miliknya yang tergeletak di meja kamar. Tak ada. Tak ada pesan yang masuk. Padahal setiap pagi ada pesan yang masuk di ponselnya, entah berisi motivasi, kata-kata mutiara, atau sekedar menanyakan kabar dari gadis yang dia kenal saat mengikuti seminar pendidikan beberapa bulan yang lalu. gadis yang membuat dirinya jatuh hati sejak pandangan pertama. gadis yang memberikan gradasi warna yang indah bagi kehidupannya akhir-akhir ini. Sudah selesai, semuanya sudah selesai. Rafli kembali menundukkan kepala.

Penyebabnya adalah telepon semalam. Semalam, Amira menelepon Rafli menginformasikan bahwa ada seorang pemuda datang ke rumahnya dengan alasan meminta Amira menjadi istrinya.  Pemuda itu merupakan dokter muda. Akademiknya bagus, seorang freshgraduated Pascasarjana Fakultas Kedokteran di salah satu kampus terbaik di Surabaya. Dengan profil yang ciamik seperti itu, tidak ada alasan logis bagi orang tua Amira untuk menolak pinangan tersebut. Namun tidak untuk Amira, dia tidak tertarik oleh semua itu, karena hatinya sudah tertambat kepada seorang yang bernama Rafli.

Orang tua Amira meminta anaknya gadisnya itu untuk menerima pinangan si dokter muda. Namun, Amira meminta waktu tiga hari untuk memikirkan jawabannya. Hatinya tidak dapat berbohong bahwa dia mencintai Rafli. Di seberang telepon, Amira menangis dan mengatakan kepada Rafli bahwa dia hanya punya waktu tiga hari untuk menjawab pinangan tersebut. Walau tidak mengatakannya secara lugas, tetapi Rafli sadar betul bahwa tujuan Amira menelepon dirinya adalah agar Rafli berani datang ke orang tua Amira secepatnya untuk meminang Amira.

Hanya saja Rafli merasa sudah seperti orang yang kalah sebelum berperang. Dengan hanya bekerja sebagai guru les Bahasa Inggris yang pendapatannya jauh dari kata berlebih, jiwa Rafli dihinggapi keraguan. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana dia dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya dengan hanya mengandalkan pendapatan dari pekerjaan guru honorer ini. Selain itu, Rafli juga pesimis orang tua Amira akan menerimanya setelah ada seorang dokter muda yang datang untuk meminta putri bungsunya itu. Secara materi, Rafli bukan tandingan si dokter muda itu. Lidah Rafli kelu, menutup telepon setelah meminta waktu kepada Amira untuk berfikir sejenak.

Pintu kamar Rafli berbunyi tiga ketukan, Rafli mengangkat kepalanya, lalu bangkit membukakan pintu, matanya yang lesu semburatkan kesedihan yang dia rasakan. Pintu kamar terbuka saat secara bersamaan Rafli menekan dan menarik ganggang pintu yang udah mulai aus itu. Dibalik pintu ternyata Ibunda Rafli berdiri membawakan semangkuk sup ayam panas di tangan kanan dan segelas teh hangat di tangan kirinya. Disapanya Rafli dengan senyum hangat yang sejenak membuat anak sulungnya itu dapat melupakan kegalauan hati.

“Dari semalam kau terlihat lesu. Ada apakah, Nak?” Rafli menghentikan suapan makannya yang kelima, lalu mendongakkan kepala kepada Ibunya.

“Tidak ada apa-apa, bun.” Kata-kata yang keluar dari mulut Rafli jelas bertentangan dengan apa yang ditujukkan oleh raut mukanya. Ibunda Rafli hanya tersenyum tipis.

“Engkau mempunyai hak untuk tidak menceritakannya kepada bunda. Tapi dari air muka yang kau tunjukkan saat ini, mengingatkan bunda kepada seseorang dua puluh lima tahun yang lalu. Dan seseorang itu adalah ayahmu.” Rafli segera menaruh mangkuk supnya di meja. Menatap penuh makna wajah bunda, merasa penasaran dengan kalimat bundanya barusan. Yang ditatap kembali tersenyum melihat anak sulungnya kebingungan.

“Iya, dua puluh lima tahun yang lalu. Ayahmu datang ke rumah bunda, sendiri menggunakan motor bututnya yang baru dia beli dari temannya dengan cara mengangsur selama lima kali. Ayahmu berusia 24 tahun saat itu, dia pemuda yang tampan. Banyak perempuan yang menyukai dirinya, namun entah mengapa dia hanya menaruh perhatian kepada bunda. Dengan mantap dia menemui kakekmu, mengutarakan keinginannya untuk memperistri bunda. Lalu apakah engkau tahu apa yang dikatakan kakekmu kepada ayah?” Bunda menatap Rafli dengan sedikit senyum simpul, anak sulungnya menggelengkan kepala. 

“Kakekmu menanyakan perihal keluarganya, pendidikan serta apa pekerjaan ayah. Pertanyaan tentang pekerjaanlah yang membuat ayahmu berkeringat. Bunda yang melihatnya dari balik tirai kamar juga merasa kuatir. Saat itu ayahmu hanya seorang pelukis, dan selama ini dia hidup mandiri hanya dengan hasil menjual lukisannya. Sudah barang tentu dia tidak memiliki penghasilan tetap. Kakekmu memberitahu kepadanya bahwa dalam membina keluarga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun saat itu hanya melukislah yang bisa dilakukan oleh ayahmu. Lalu, kakek meminta maaf karena lamaran ayahmu kepadaku belum diterima, sebab ayahmu tidak memiliki pekerjaan tetap. Ayah menundukkan kepalanya, kulihat air mukanya ketika itu mirip sekali dengan air muka yang kau tunjukkan saat ini.” Suara guntur di langit kota semakin keras, titik per titik air hujan sudah meluncur turun menghajar tanah. Rafli mulai tertarik dengan cerita bundanya, yang bercerita juga bersemangat menceritakan kejadian seperempat abad yang lalu itu.

“Apakah kakek tidak suka dengan ayahmu? Tentu saja kakek sangat suka dengannya. Kakekmu tahu betul akan keteguhan hati serta kerja keras ayahmu. Kakekmu hanya menguji mentalnya. Kakekmu yakin bahwa ayahmu tidak akan menyerah begitu saja. Dan benar saja, setelah beberapa saat terbenam dalam kekecewaan, ayahmu menegakkan kepalanya lalu berkata kepada kakek ‘Maaf Pak, benar saat ini saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak berpenghasilan tinggi, namun saya berjanji akan bekerja keras untuk membahagiakan Shofia. Saya akan bekerja keras untuk itu, saya berjanji. Saya mencintainya saat pertama kali bertemu dengannya. Dan, dari pertemuan itulah saya yakin Shofia adalah perempuan yang terbaik bagiku dan anak-anakku kelak. Kumohon restuilah hubungan kami.’ Kau tahu Rafli? Ayahmu benar-benar mantap mengungkapkan kalimat tersebut. Hati bunda bergemuruh saat itu juga mendengar kalimat itu.” Hujan semakin deras di luar sana. Genting atap rumah semakin gaduh ditimpa jutaan tempias air hujan yang meluncur secara serempak dan simultan.

“Di akhir pertemuan itu, kakekmu tersenyum dan yakin bahwa laki-laki yang sedang di depannyalah yang terbaik untuk mendampingi putri semata wayangnya mengarungi sisa hidup ini. Pinangan ayahmu diterima. Raut muka kekecewaan yang tadi dia tampakkan berubah menjadi senyuman manis dari bibirnya. Dan, sampai saat ini, walau kehidupan kita sederhana namun bunda selalu bahagia berada disisi ayah. Selama berkeluarga, bunda tidak pernah dikecewakan oleh ayahmu. Ayahmu menepati janjinya, janji untuk selalu menyayangi dan membahagiakan keluarga ini. Bunda mencintainya. Mencintainya juga saat pertama kali bertemu.” Bunda menutup ceritanya.

“Oh iya, siapa nama gadis cantik yang membuatmu kusut begini? Pergilah, temui orang tuanya dan katakan seperti apa yang ayah katakan kepada kakekmu dua puluh lima tahun yang lalu.”  Bunda mengedipkan matanya sambil tersenyum ke Rafli.

Dan, secercah harapan menjemput janji kebahagiaan itu mulai tersibak kembali di hati Rafli.


Surabaya, 25 Februari 2013
10.00 a.m