Hanya Untuk Kepuasan Jiwa...

"Jika Anda ingin mengenal Dunia, maka Membacalah. Dan jika Anda ingin Dunia Mengenal Anda, maka Menulislah"
Sesuatu yang paling membahagiakan bagi jiwa ini adalah ketika dapat mengeluarkan segala potensi yang dipunya. dan menulis adalah salah satu sarana dalam mengeksplorasi kemampuan dengan mencatat segala pengalaman yang didapat agar bertambah ilmu yang dimiliki...
semoga tulisan ini dapat selalu menjadi manfaat minimal bagi diri sendiri dan bagi pembaca yang lain..

Rabu, 02 Mei 2012

Terapi Buaya



Hai kawan, gimana kabarnya ? Kalau baik – baik saja, syukurlah. Yang keadaannya sedang tidak baik ya syukurin. He.he jangan marah dulu tho. Maksudku itu,  intinya kita harus bersyukur atas segala keadaan yang kita miliki (wah kok malah menjelma jadi ustadz begini?).
Kawan, ternyata sehat itu suatu kenikmatan yang luar biasa diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sehat adalah suatu karunia yang tidak terkira harganya, namun sering kali dilupakan bahkan di sia - siakan. Mangkanya, di setiap khutbah sholat Jum’at, Khatib selalu bilang kalau hendaknya kita bersyukur karena masih diberikan kenikmatan iman, Islam, dan emm nikmat kesehatan.
 Aku baru tersadar betapa indah nikmat sehat itu, setelah selama dua bulan terakhir aku merasakan gatal – gatal menggerayangi tubuhku (padahal aku bukan pria kegatalan lho). Akibatnya, selama dua bulan ini aku mengalami defisit waktu tidur, karena setiap malam aku tidak bisa tidur dengan nyenyak apalagi ngorok. Di malam hari, setiap terlelap, pasti langsung garuk – garuk. Terlelap lagi, garuk – garuk lagi. Begitulah kegiatan rutinku sampai menjelang subuh (dan menurut para ahli, pola tidur seperti ini akan membahayakan seluruh organ tubuh, terutama kulit sebab akan terkelupas dan terluka karena terlalu sering digaruk). So, jika ada kuliah pagi, aku selalu keteteran karena merasakan kantuk yang teramat sangat. Tak jarang aku memilih bolos kuliah hanya untuk tidur sebagai “balas dendam” waktu tidur malamku yang direnggut oleh penyakit gatal – gatal ini.
Bukan hanya waktu tidur malamku saja yang dijarah oleh penyakit ini. Tidak sedikit rupiah kukeluarkan dari dompet hanya untuk beli bedak, lipstik, pelembab (lho kok kayak banci gini?). Ups, maksudku beli bedak gatal. Namun jauh panggang dari api, nyatanya tidak ada perkembangan dari kondisiku. Bedak gatal yang kupakai ternyata tidak membuat penyakit ini hengkang dari tubuhku. Aku tetap gatal – gatal dan setiap malam aku harus garuk – garuk. Pengaruh lain yang diakibatkan dari tidak bisanya tidur malam dengan nyenyak ini membuat aku sering kurang konsentrasi dan cepat emosi ketika melakukan sesuatu.
Karena takut kenapa - kenapa, aku memutuskan untuk periksa ke Puskesmas terdekat. Setelah sekian lama aku menunggu (lagu “Menunggumu” Ridho Rhoma mengalun dari atas pohon), aku dipersilahkan masuk ruangan dokter untuk diperiksa. Di ruangan itu aku dilayani oleh dokter perempuan, di sinilah aku mulai di interogasi.
Dokter  : “Apa keluhannya, mas?”
Aku : “Gatal – gatal, dok.”
Dokter  : “Bagian mana yang gatal – gatal ?”
Aku : “Bagian sini.” *sambil nunjuk paha*
Nah, karena aku menunjuk paha sebagai pusat dari kegatalan, rupanya si dokter tidak berminat untuk melihat pahaku secara langsung. Lagipula, aku juga tidak akan mengambil resiko mempertontonkan pahaku yang penuh dengan koreng, belang, sisik dan panu ini secara gratis kepada si dokter. Salah – salah nanti dia pingsan, susah jadinya. Karena itu si dokter hanya menerka – nerka apa yang ada di balik pahaku ini.
Dokter Perempuan : “Banyak bintik merahnya  ya, mas?”
Aku : “Tidak, dok.”
Dokter Perempuan : “Berarti ada bintik kehitam – hitaman?”
Aku : “Tidak juga.” Dalam hati aku bilang, jawaban Anda salah lagi, Anda kurang beruntung, coba lagi di lain kesempatan.
Dokter Perempuan : *ekspresi bengong mikir sambil ngupil*
Karena merasa tebakannya selalu salah, si dokter nyerah dan menyuruh salah satu dokter lainnya (dokter laki – laki) untuk menggantikannya memeriksaku. Dokter laki – laki ini orangnya masih muda, ganteng, berbadan tegap dan ciri – ciri yang paling mencolok adalah lubang hidungnya yang penuh dengan bulu. Lalu, tanpa basa – basi serta penuh nafsu, aku diperintah untuk membuka celana agar dia dapat melihat secara langsung pahaku yang terkena gatal – gatal. Dalam hati aku takut juga, jangan – jangan dokter laki – laki ini adalah sindikat gay dan akan menerkamku sesaat setelah aku mempertontonkan pahaku. Namun demi kesembuhan, aku terpaksa menuruti perintahnya. Untung aku sudah persiapan memakai celana pendek dari rumah jadi tidak merasa khawatir dicabuli. Pelan – pelan ku buka celana. Semakin pahaku tersibak, semakin melotot mata si dokter memandanginya dengan penuh nafsu. Semakin terbuka, semakin terbuka, dan tiiiiiittt. Sensor.
Setelah kulihatkan bagian pahaku yang gatal itu, si dokter mulai menganalisis penyakit apa yang menyerang tubuhku. Lalu tanya jawab kembali dilakukan.
Dokter Laki – Laki : “Mas, saya boleh tanya?”
Aku : “Silahkan, dok.”
Dokter Laki – Laki : “Tapi sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu.”
Aku : “Iya, dok. Silahkan, tidak apa – apa.”
Dokter Laki – Laki : “Saya benar – benar minta sebelumnya ya, mas?”
Aku : “Minta maafnya ntar aja kalau udah lebaran, dok.” Aku mulai gerah.
Dokter Laki – Laki : “Sebelumnya saya minta maaf ya, mas? Mas, gak boleh tersinggung.”
Aku : “Iya dok, katakan saja tidak apa – apa.” Tiba – tiba aku punya firasat buruk bahwa si dokter ini akan mengatakan cinta kepadaku karena terlalu grogi sebelum mengatakannya.
Dokter Laki – Laki : “Bener ya, mas. Aku minta maaf sebelumnya.”
Aku : “Huuuuuuaaaaaaaaa…….. Sekarang dokter tinggal pilih yah. Pilih gantung diri sekarang atau aku yang nggantung dokter ?”
Dokter Laki – Laki : “He.he. Jangan marah tho.”
Aku : “Habisnya minta maaf melulu.”
Dokter Laki – Laki : “Begini, mas.” Dokter memelankan suaranya, “Apakah mas pernah berhubungan dengan cewek?”
Aku : “Maksud dokter?” Aku masih belum paham apa yang ditanyakannya.
Dokter :”Maksud saya, pernah ndak mas berhubungan intim dengan cewek?”
Aku : “Hah ?” *sambil memasang muka mirip orang tertangkap basah mencuri jemuran tetangga*
Dan, aku mulai mudheng dengan apa yang dimaksudkan oleh si dokter. Aku dicurigai terkena AIDS. Enak saja aku dibilang pernah “gitu – gituan” sama cewek, orang megang tangan cewek aja gak berani karena takut dihajar pacarnya. Kalau saja tidak ingat si dokter meminta maaf sebelumnya, pasti sudah ku laporkan dia ke Majelis Ulama Indonesia dengan tuduhan mencemarkan nama baik orang beragama.
Aku : “Tidak pernah, dok. Aku tidak pernah melakukan hal itu.”
Dokter : “Ah, yang bener ?” *dokter tidak percaya*
Aku : “Bener, dok. Kata Bang Rhoma itu haram dan terlalu, dok.”
Dokter : “Oh….”
Setelah diperiksa, aku diberi berbagai macam obat serta salep untuk mengeringkan luka di kulit akibat terlalu sering ku garuk.
Namun, berhari – hari setelah aku periksa di Puskesmas, tidak ada perkembangan yang signifikan dari tubuhku. Obat – obat yang kukonsumsi hanya bisa membuat ngantuk namun tidak dapat menghilangkan rasa gatal. Tiap malam aku masih merasakan gatal – gatal, dan tiap malam pula aku tidak bisa tidur sampai pagi menjelang. Kalau boleh jujur, sungguh aku merasa tersiksa dengan kondisi seperti ini. Dan, dari sini aku mulai berfikir bahwa betapa nikmatnya orang yang dapat tidur malam dengan nyenyak. Nikmat yang sering dilupakan untuk disyukuri.
            Akhirnya, ibu menyuruhku berhenti mengkonsumsi obat – obatan karena akan berakibat tidak baik pada organ tubuh yang lain. Selang beberapa hari kemudian, aku dapat info dari seorang teman bahwa ada pengobatan herbal untuk segala penyakit, termasuk gatal – gatal. Tanpa membuang waktu, aku langsung pergi ke tempat yang direkomendasikan. Barulah setelah diperiksa, aku tau bahwa ternyata aku terindikasi usus kotor. Hah, usus kotor ? Padahal, seingatku aku tidak pernah makan sampah, belatung atau bangkai tikus yang mati terlindas truk di jalan raya. Aku menerka – nerka apa yang harus kulakukan agar ususku kembali bersih? Viola, jawaban ketemu. Caranya mudah, aku hanya perlu mengeluarkan ususku dari perut kemudian mencucinya dengan detergen lalu dijemur, baru setelah kering dan disetrika dimasukkan kembali ke dalam perut. Beres. Inilah yang disebut metode unik menjemput ajal.  
            Kembali ke pengobatan. Seusai diperika, diketahui bahwa usus yang kotor inilah yang membuat penyakit gatal – gatal hadir menyandra tubuhku. Si tabib merekomendasikan agar aku diterapi. Dan, disinilah pertama kali aku mendengar nama terapi yang cukup unik, yaitu YUMINGO. Kalau dilihat dari susunan hurufnya sih, terapi ini berasal dari Negeri Sakura, Jepang. Terapi ini berfungsi mengembalikan susunan tulang dalam tulang yang disposisi, agar nantinya sistem aliran darah dalam tubuh menjadi lancar. Eits, jangan senang dulu, karena cara kerja dari terapi ini cukup menjengkelkan, yaitu meminjat dan menekuk – nekuk tulang sampai tubuh yang diterapi menjadi lemas tak berdaya. Tapi, kabar baiknya adalah setelah diterapi, tubuh akan merasa rileks.
            Seusai terapi Yumingo, aku juga disarankan untuk menjalani pengobatan selanjutnya. Kali ini pengobatan yang berasal dari Arab. Yup, benar sekali, BEKAM. Terapi yang berfungsi mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh ini, merupakan metode pengobatan yang dikenal sejak zaman Nabi Muhammad. Cara kerjanya ialah menyedot darah kotor dalam tubuh menggunakan alat khusus, semacam kop gitu deh. Ngeri juga melihat darahku keluar berjama’ah dari dalam tubuh saat di bekam. Anehnya, warna darah yang keluar tidak seperti biasanya yang merah segar, melainkan  berwarna merah kehitaman. Padahal jelas – jelas aku tidak pernah minum air comberan, apalagi minum air jemuran. Mungkin ini yang disebut darah kotor.
            Setelah kedua terapi kujalani, kini saatnya pemberian obat herbal. Kata si terapis, obat herbal ini berfungsi untuk membersihkan ususku yang kotor. Sebenarnya, ini cuma bahasanya orang – orang kedokteran saja, biar kelihatan lebih intelek, tidak gaptek dan mengapotek gitu. Tapi maknanya akan sama saja dengan kalimat, “Obat herbal ini berfungsi agar kamu sering – sering be’ol.” Dan, benar saja. Setelah mengkonsumsi obat herbal ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu di WC daripada di masjid (numpang be’ol di masjid maksudnya). Kalau sebelum terapi, setiap malam aku harus garuk – garuk, sekarang setiap malam aku harus jongkok di atas jamban sambil nahan kantuk. Do’akan aku cepat sembuh ya kawan, biar aku tidak tersiksa seperti ini.
            Oh, iya. Aku baru ngeh kalau saat ini, terapi - terapi alternatif lebih diminati daripada pengobatan ala rumah sakit. Berbagai alasan mendasari mengapa kebanyakan orang berpindah hati ke terapi alternatif, salah satunya  adalah bahwa pengobatan ini tidak memelurkan biaya yang banyak. Wah, hukum ekonomi banget nih. Tapi tidak masalah, yang penting sembuh, seperti pepatah bilang bahwa, “Banyak jalan menuju Roma.” Apapun cara pengobatannya yang penting kembali sehat.
            Nah, yang baru – baru ini sedang nge-trend adalah terapi lintah. Sama seperti bekam yang fungsi mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh, bedanya hanya pada alatnya saja. Pada terapi lintah ini, lintah akan diletakkan pada bagian tubuh pasien yang merasa sakit. Setelah itu, secara naluriah, lintah akan menyedot darah kotor di bagian itu. Setelah dirasa cukup, lintah diangkat, dan ditiriskan (lho…?). Beres.
            Kalau orang lain akan lari terbirit - birit bila bertemu lebah karena takut tersengat, ini malah dicari untuk dijadikan pengobatan. Terapi sengat lebah, namanya. Cara kerja terapi ini adalah menusukkan sengat lebah pada bagian pasien yang sakit. Dan, rupa – rupanya terapi ini lumayan manjur. Bisa dicoba deh.
            Kemudian terapi yang lagi hangat – hangatnya diberitakan oleh media, yaitu terapi lilit ular. Katanya, terapi yang biayanya dapat mencapai enam ratus ribu rupiah ini dapat membuat otot tubuh menjadi rileks, dengan cara kerja yakni melilitkan beberapa ular pada bagian tubuh. Tentu saja ada harus dijaga pawang ular,  takut – takut nanti terjadi hal – hal yang tidak diinginkan pada pasien. Contoh, secara tidak sadar si ular melilit pasien dengan sangat keras hingga  pasien sesak nafas kemudian almarhum di tempat. Atau tiba – tiba pasien makan tuh ular karena dikira sosis dan lain sebagainya.
            Dan, sekarang aku memiliki ide cemerlang untuk membuat bisnis terapi baru dalam ranah pengobatan alternatif. Rasa – rasanya, ideku ini akan menjadi trend setter di bidang kesehatan dua tahun ke depan. Secara, pengobatan ini adalah pengobatan yang pertama dan satu – satunya di Indonesia. Jika Tuhan mengijinkan bisnisku ini sukses, aku akan membuka cabang pengobatan di seluruh Indonesia bahkan di belahan dunia lainnya. Namanya, “TERAPI GIGIT BUAYA”. Terapi yang sangat sederhana, mudah, murah, menghemat waktu, dan magic. Cara kerjanya, pasien tinggal menunjukkan bagian mana yang sakit (seumpama yang sakit adalah kaki kanan), setelah itu terapis akan mengeluarkan buaya sebagai aktor utama terapi. Lalu, pasien tinggal memasukkan kaki kanannya ke dalam mulut buaya yang menganga. Setelah kaki kanan pasien benar – benar masuk ke dalam mulut buaya, selanjutnya buaya akan memulai terapinya dengan menggigit kaki pasien sampai habis. Terapi berakhir. Mudah, murah, menggemat waktu, dan magic bukan ? Cara pengobatannya juga sama ketika yang sakit adalah kepala. Pasien tinggal masukkan kepalanya di mulut buaya, kemudian buaya akan memulai terapi dengan cara menggigit kepala pasien sampai putus. Selesai. Dijamin, pasien tidak akan merasakan sakit lagi dan akan hidup dengan tenang selama - lamanya.
Oh, iya sebagai catatan, buaya yang dipakai untuk terapi adalah buaya yang tidak diberi makan selama enam bulan.
            Ada yang mau mencoba ?

Kisah Sedih Bersama Tukang Parkir


Kisah Sedih Bersama Tukang Parkir
Kadang, peristiwa yang dulunya membuat diri marah, frustasi sampai stress dapat berubah menjadi bahan tertawaan jika diingat – ingat lagi kejadiannya. Padahal, kerugian yang diakibatkan hal itu menguras biaya yang tidak sedikit. Kawan, aku ingin berbagi pengalaman dengan kalian, dan semoga mendapatkan banyak pembelajaran dari kisah konyolku ini.
Kisah ini terjadi saat awal kali aku diajari nyetir mobil oleh Ayah. Namanya juga anak SMA, diajari nyetir mobil merupakan pengalaman hal yang sangat membanggakan. Aku sangat bersemangat belajar mengemudi. Bukan tanpa alasan mengapa aku sangat girang belajar menyetir mobil, karena aku membayangkan siklus kehidupan yang akan kujalani ke depan jika aku sudah bisa mengendarai mobil.
Pertama, setelah aku benar – benar mahir mengendarai mobil, aku akan pamerkan kemampuanku kepada teman – teman sekolah, secara jarang sekali anak di SMA ku yang bisa nyetir mobil karena kebanyakan hanya bisa nyetir becak. Yah, walau nanti yang kubawa bukan mobil mewah, melainkan angkot buluk milik Ayah yang biasa dipakai ngangkut bawang dan cabai di pasar.
Kedua, otomatis kalau aku sudah menunjukkan skill mengemudikan mobil, minimal aku akan diperhitungkan oleh cewek – cewek untuk jadi gebetannya. Tapi mungkin nanti nasib akan berkata lain, karena aku yakin mereka lebih suka naik odong – odong daripada naik angkot buluk ini.
Ketiga, ini yang paling penting, aku akan dapat penghasilan tambahan sebagai supir antar jemput anak sekolah. Namun sepertinya bisnis ilegalku ini tidak akan sukses, sebab para orang tua murid pasti takut aku menculik anak – anak mereka dengan alasan wajahku mirip dengan terdakwa kasus pencabulan sapi di bawah umur seminggu yang lalu.
Sekarang hari pertama aku diajari nyetir mobil. Seperti pada umumnya, pembelajaran diawali oleh teori mengemudi. Bagaimana mana memasukkan gigi, bagaimana memegang setir secara efektif, bagaimana cara memarkirkan mobil, sampai diajari bagaimana mengganti ban serep. Lalu, teori – teori itu ku praktekkan dengan lancar, mulus, pertanda bahwa aku anak pinter dan biar kalau sudah gede jadi dokter (lagu boneka Susan dan Kak Ria Enes mengalun dari kejauhan). Akan tetapi, dari semua praktek yang kujalani, yang paling sulit adalah memarkirkan mobil dengan berjalan mundur, alias return atau dalam bahasa Jawanya Atret. Sudah tak terhitung berapa banyak tukang becak kuserempet, tak terhitung berapa banyak pula nona – nona manis harus bergelimpangan di jalan karena terlindas mobilku. Semakin banyak korban yang berjatuhan akibat ulahku, semakin banyak pula aku kena semprot Ayah.
Seminggu kemudian…
Dan, parking area mall X inilah yang menjadi saksi tuna wicara (baca : bisu) dari puncak kemarahan Ayah atas kedunguanku memarkirkan mobil. Sebenarnya ini bukan murni kesalahanku, ada pihak lain yang turut andil dalam kejadian nahas ini, dialah si tukang parkir dodol. Hari itu, aku bersama semua anggota keluarga pergi berbelanja, sekalian refreshing katanya. Nah, kebetulan Ayah mempercayakan mobil barunya dikemudikan oleh anak bau kencur, yaitu aku sendiri. Entah kemarin beliaunya bermimpi apa, kok tiba – tiba menyuruh aku yang menyetir mobil. Mungkin Ayah mau memberikan pengalaman yang lebih banyak kepadaku atau apalah, tapi yang jelas keputusan yang beliau ambil salah besar. Karena sejak malam itu, mobil kesayangannya harus “opname”.
Ceritanya, waktu sudah masuk area parkir mall, ada seseorang berseragam melambai – lambaikan tangannya kepadaku, mengisyaratkan aku untuk mengikuti perintahnya. Ku kira orang itu pengemis, eh ternyata dia juru parkir mall. Cap cus, aku injak pedal gas ke arah tukang parkir itu. Kemudian si tukang parkir memerintahkan aku untuk memarkirkan mobil di tempat yang dia tunjuk, tempatnya agak sempit, karena memang waktu itu parkiran sangat padat kendaraan. Tanpa buang waktu, kujalankan mundur mobilku perlahan, di komandoi oleh si tukang parkir dengan kata – kata “Terus… Terus…. Masih jauh…!” Yah, sebagai driver pemula aku merasa nyaman dengan aba – aba itu, karena ada yang mengawasi mobil agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan seperti menyerempet mobil lain dan sebagainya. Perlahan - lahan aku memundurkan mobilku, namun kayaknya si tukang parkir dodol tidak sabar melihat mobil berjalan seperti keong. Perintahnya semakin keras dan tegas, “Teruuuuusss… Masih jauh mas….. Ayo cepat!” merasa didesak, aku menambah kecepatan mobil, tapi alarm mobil sudah berbunyi tanda di belakang mobil ada sesuatu benda, dan saat kutolehkan wajahku ke belakang, benar sekali, aku melihat ada tembok besar berwarna hijau. Merasa semakin dekat dengan tembok, kembali kuturunkan kecepatan, tapi lagi – lagi si tukang parkir tidak sabar, dia kembali berteriak, “Teruuuuussss…. Masih jauh temboknya…!” Kayaknya, si tukang parkir sudah kebelet pipis. Alarm semakin berbunyi keras, sama kerasnya dengan suara si tukang parkir bilang “Teruuss…” kurasa body belakang mobil sudah berjarak sangat dekat dengan tembok pembatas, lalu ku rem mobil, namun lagi – lagi si tukang parkir masih bilang “Teruuuuss….” Kumundurkan lagi mobilnya pelan semakin mendekat dengan tembok, si tukang parkir masih bilang “Teruuus mundur…” kugas mundur lagi pelan, semakin dekat dan semakin dekat jarak mobil dengan tembok, semakin dekat dengan tembok semakin lantang pula si tukang parkir berteriak “Teruuus…” jantungku mulai dag dig dug der. Semakin dekat, semakin dekat si tukang parkir masih bilang “Teruus…” dan “BRUGGGG.” Suara khas dari dua benda yang berbenturan dengan keras terdengar di telingaku, sedetik kemudian kudengar suara si tukang parkir dodol yang berteriak “STOOOP…..” Terlambat. Mobilku sudah menabrak tembok. Dan, aku harus menerima kenyataan bahwa body bagian belakang mobilku ringsek alias penyok karena berbenturan dengan tembok. Aku turun dan menyalahkan si tukang parkir tapi dia nyelonong pergi meninggalkan kami sambil berseloroh, “Kan tadi aku sudah bilang STOP, kok malah diterusin.” Aku menimpali, “Woy, tapi situ bilang STOP nya setelah mobilku kelar numbuk tembok, tau.” Tapi, dengan ekspresi wajah tanpa dosa si tukang parkir terus aja ngibrit pergi menjauhiku dan kayaknya dia bakal markir mobil lain yang baru datang. Lalu kami sekeluarga meratapi kepenyokan body mobil, dengan membuat lingkaran kecil dan tahlilan di area parkir mall sambil ngunyah sandal jepit.
Sudahlah, ndak usah ku ceritakan bagaimana ngomelnya Ayah lihat mobilnya yang sekarat, karena kata – kata yang dilontarkan Ayah tidak baik dikonsumsi buat anak usia lima belas tahun kesamping. Tapi, jika diingat – ingat dan kuceritakan tentang kejadian bersama si tukang parkir di mall itu, aku jadi ketawa – ketawa sendiri, dengan alasan di jaman seperti ini kok masih ada orang yang telat mikir (baca : telmi) seperti dia? Kalau seumpama dia hidup di jaman peperangan melawan penjajah, mungkin setelah kepalanya tertembak oleh musuh, baru dia tiarap dan berteriak “Awas ada musuh menembak…” Hehe.
 Ini peringatan buat kalian para driver pemula untuk hati – hati dalam mengemudikan mobil terutama saat memarkirkan. Juga hati – hati di jalan, gak usah ngebut – ngebut di jalan deh karena ngebut itu gak ada gunanya. Ingat prinsip yang satu ini : NGEBUT MENYEBABKAN KEPALA BENJUT. Key, sekian dulu ya cerita konyol dari aku. Ini ceritaku, mana ceritamu ?
Surabaya, 03 April 2012

Kapan Nyusul ?



Rasanya nyesek banget dada ini kalau selalu ditanya hal – hal yang nadanya menjurus ke arah ngebanding – bandingin kita dengan orang lain. “Harusnya kamu tiru si itu,” “Sebaiknya sikapmu harus kayak si ini,” “Seandainya kamu pinter seperti si anu.” Dibanding – bandingin seperti itu membuat aku pingin muntah pizza saja. Hal tidak mengenakkan itu pernah terjadi kepadaku beberapa kali. Sebenarnya, bukan aku ndak suka ditanya seperti itu, tapi kurang enak aja kedengarannya di telinga (sama aja tau).
Contohnya nih ya, Mat Gofar (orang Inggris memanggilnya, Mc Gaffer), kakak kelasku sewaktu kuliah. Aku kenalnya waktu dia jadi mahasiswa perbaikan di kelasku, rambutnya kepalanya gondrong, rambut keteknya juga sama gondrongnya. Mat Gofar ini tipe orang yang suka nyindir. Nah, karena udah nyelesain urusan perkuliahannya, sim sala bim, dia di wisuda juga bareng teman – teman sekelasku yang lain. Sedang aku ? Masih harus berkutat dengan judul skripsi yang berkali – kali ditolak karena tidak masuk akal katanya. Padahal menurutku judul skripsi yang kuajukan sangat bagus dan terkesan bernilai intelektual tinggi. Misal :
  1. “Hubungan Antara Politik Islam dengan Kenaikan Harga Sandal Jepit”, Studi Kasus Pengambilan Kebijakan Ta’mir Masjid Al – Ihsan Menangani Maraknya Pencurian Sandal Jepit.
  2. “Dampak Kenaikan Harga Pentol Terhadap Belajar Mengajar di Kampus”.
Yah, gimana lagi ? Ditolak terus, padahal aku mendapatkan judul itu dari hasil perenungan mendalam di Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Tapi tak apalah, judul skripsi ditolak, mertua bertindak.
Walaupun masih belum lulus, aku tidak akan melewatkan prosesi wisuda teman – teman sekelasku yang telah lebih dahulu mendahuluiku (emang wafat ?). Dan, hari itu aku sengaja datang untuk memberikan support dan ucapan selamat kepada mereka walau dalam hati miris juga belum lulus – lulus dengan usia seperti ini. Aku malu sama kumis yang udah gondrong ini.
Di sela – sela prosesi kelulusan itu, tiba – tiba Mat Gofar menghampiriku dengan toga yang dikenakannya. Entah apa maksudnya, namun sedetik kemudian dia bertanya kepadaku, “Kapan nyusul kita - kita, hah? Harusnya kamu tiru kita – kita yang lulus tahun ini.” Pertanyaan yang diucapkan dengan nada sedikit berbau meremehkan. Kujawab aja sekenanya, “Tahun depan InsyaAllah, mas.” Eh, ndak taunya dia malah menimpali, “Halah, paling – paling kamu gak lulus sampai semester empat belas.” Ya ampun orang ini nyebelin banget sih, orang dia juga molor satu tahun aja kok, batinku. Lalu aku pergi meninggalkannya dengan cara pura - pura pipis di pinggir lapangan (pura – pura lho ya).
Kejadian waktu acara wisuda itu sih sebenarnya sudah kulupakan dan sudah kuharap tidak ada sindiran semacam itu lagi. Namun, kayaknya takdir menentukan lain. De javu terulang kembali. Ceritanya, waktu aku menghadiri acara pernikahannya Rani, teman sekelasku yang sudah kelar kuliahnya. Saat itu, aku sedang enak – enaknya hunting makanan gratis ala pesta pernikahan (sebenarnya gak gratis sih, kan aku juga harus ngasih amplop), eh sekonyong – konyong ketemu lagi ama Mat Gofar yang ketika itu bergandengan mesra dengan seorang gadis. Kayaknya sih pacarnya, atau mungkin pembantunya. Aku menatapnya dengan senyum mengembang di bibir. Dia membalasnya dengan senyuman khas orang yang jempol kakinya kelindas angkot. Lalu, peristiwa mengenaskan itu terjadi lagi saat dia memulai pertanyaannya, “Kapan nyusul Rani ?” Nah lho ! Terus dengan santai aku jawab “Kapan – kapan aja mas, nunggu lulus kuliah dulu.” Tapi tidak dinyana dia berseloroh, “Kapan – kapan itu kapan? Model anak kayak dirimu itu jarang ada cewek yang mau.” Busyet dah, ini orang kok nyebelinnya minta ampun bener. Aku meninggalkan Mat Gofar dengan muka suntuk dan tak berucap satu kata pun.
Sehabis memberikan selamat kepada kedua mempelai, aku pulang dengan satu pertanyaan yang selalu menggelantung di kepalaku, kenapa sih setiap ketemu aku kok orang - orang selalu bilang, “Kapan nyusul si ini?”, “Kapan nyusul si itu?” Kan terserah aku kapan aku nyusul siapa, orang juga hidup – hidupku sendiri kok. Tapi kemudian aku akui bahwa kalimat tanya itu bisa berefek positif bila dimaknai dengan positif juga. Asalkan untuk alasan kebaikan, seharusnya kalimat “Kapan nyusul?” itu harus menjadi motivasi bagiku. Eh, akhir – akhirnya rasa jengkel kepada Mat Gofar luntur secara perlahan. Bahkan aku harus berterimakasih kepadanya, karena dia sudah “mencambukku” agar bisa segera menyelesaikan kuliah, dan emm segera menikah jika ada perempuan yang mau denganku.     
Dua minggu kemudian aku dihubungi teman kuliah bahwa salah satu dosen terbaik yang pernah mengajar di kelas kita meninggal dunia. Innalillahi wa innalillahi roji’un. Detik itu pula aku pergi ta’ziah dirumah duka. Setelah itu aku dan teman – teman yang lainnya mengantar jenazah ke pemakaman. Sedih sekali rasanya ditinggal orang sebaik beliau. Rasanya baru kemarin beliau mengajar kami, sekarang sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Aku masih ingat saat dengan semangatnya beliau mengajarkan mata kuliah Antropologi, senyumnya yang hangat saat mengawali perkuliahan, serta tidak suka marah. Ah, kenapa orang baik selalu cepat dipanggil, gumamku.
Sesaat setelah jenazah ditimbun oleh tanah, tidak sengaja aku melihat Mat Gofar berdiri tidak jauh dariku.. Tidak seperti biasanya dia diam seribu bahasa. Kali ini aku pergi menghampirinya. Lalu di atas pemakaman sang dosen, aku bertanya kepada Mat Gofar, “Kapan nyusul pak dosen, mas?” Eh, dianya malah marah - marah. Padahal, aku kan  cuma bertanya apa yang biasa dia tanyakan ke aku. Kok dia jadi sewot ?

Surabaya, 02 April 2012