Hai kawan, gimana kabarnya ? Kalau baik – baik saja, syukurlah. Yang
keadaannya sedang tidak baik ya syukurin. He.he jangan marah dulu tho. Maksudku itu, intinya kita harus bersyukur atas segala
keadaan yang kita miliki (wah kok malah menjelma jadi ustadz begini?).
Kawan, ternyata sehat itu suatu kenikmatan yang luar biasa diberikan oleh
Tuhan kepada kita. Sehat adalah suatu karunia yang tidak terkira harganya,
namun sering kali dilupakan bahkan di sia - siakan. Mangkanya, di setiap
khutbah sholat Jum’at, Khatib selalu bilang kalau hendaknya kita bersyukur
karena masih diberikan kenikmatan iman, Islam, dan emm nikmat kesehatan.
Aku baru tersadar betapa indah
nikmat sehat itu, setelah selama dua bulan terakhir aku merasakan gatal – gatal
menggerayangi tubuhku (padahal aku bukan pria kegatalan lho). Akibatnya, selama
dua bulan ini aku mengalami defisit waktu tidur, karena setiap malam aku tidak
bisa tidur dengan nyenyak apalagi ngorok. Di malam hari, setiap terlelap, pasti
langsung garuk – garuk. Terlelap lagi, garuk – garuk lagi. Begitulah kegiatan
rutinku sampai menjelang subuh (dan menurut para ahli, pola tidur seperti ini
akan membahayakan seluruh organ tubuh, terutama kulit sebab akan terkelupas dan
terluka karena terlalu sering digaruk). So,
jika ada kuliah pagi, aku selalu keteteran karena merasakan kantuk yang teramat
sangat. Tak jarang aku memilih bolos kuliah hanya untuk tidur sebagai “balas
dendam” waktu tidur malamku yang direnggut oleh penyakit gatal – gatal ini.
Bukan hanya waktu tidur malamku saja yang dijarah oleh penyakit ini. Tidak
sedikit rupiah kukeluarkan dari dompet hanya untuk beli bedak, lipstik,
pelembab (lho kok kayak banci gini?). Ups,
maksudku beli bedak gatal. Namun jauh panggang dari api, nyatanya tidak ada
perkembangan dari kondisiku. Bedak gatal yang kupakai ternyata tidak membuat
penyakit ini hengkang dari tubuhku. Aku tetap gatal – gatal dan setiap malam
aku harus garuk – garuk. Pengaruh lain yang diakibatkan dari tidak bisanya
tidur malam dengan nyenyak ini membuat aku sering kurang konsentrasi dan cepat
emosi ketika melakukan sesuatu.
Karena takut kenapa - kenapa, aku memutuskan untuk periksa ke Puskesmas
terdekat. Setelah sekian lama aku menunggu (lagu “Menunggumu” Ridho Rhoma
mengalun dari atas pohon), aku dipersilahkan masuk ruangan dokter untuk
diperiksa. Di ruangan itu aku dilayani oleh dokter perempuan, di sinilah aku
mulai di interogasi.
Dokter : “Apa keluhannya, mas?”
Aku : “Gatal – gatal, dok.”
Dokter : “Bagian mana yang gatal –
gatal ?”
Aku : “Bagian sini.” *sambil nunjuk paha*
Nah, karena aku menunjuk paha sebagai pusat dari kegatalan, rupanya si
dokter tidak berminat untuk melihat pahaku secara langsung. Lagipula, aku juga
tidak akan mengambil resiko mempertontonkan pahaku yang penuh dengan koreng, belang,
sisik dan panu ini secara gratis kepada si dokter. Salah – salah nanti dia
pingsan, susah jadinya. Karena itu si dokter hanya menerka – nerka apa yang ada
di balik pahaku ini.
Dokter Perempuan : “Banyak bintik merahnya ya, mas?”
Aku : “Tidak, dok.”
Dokter Perempuan : “Berarti ada bintik kehitam – hitaman?”
Aku : “Tidak juga.” Dalam hati aku bilang, jawaban Anda salah lagi, Anda kurang beruntung, coba lagi di lain
kesempatan.
Dokter Perempuan : *ekspresi bengong mikir sambil ngupil*
Karena merasa tebakannya selalu salah, si dokter nyerah dan menyuruh
salah satu dokter lainnya (dokter laki – laki) untuk menggantikannya
memeriksaku. Dokter laki – laki ini orangnya masih muda, ganteng, berbadan
tegap dan ciri – ciri yang paling mencolok adalah lubang hidungnya yang penuh
dengan bulu. Lalu, tanpa basa – basi serta penuh nafsu, aku diperintah untuk
membuka celana agar dia dapat melihat secara langsung pahaku yang terkena gatal
– gatal. Dalam hati aku takut juga, jangan – jangan dokter laki – laki ini
adalah sindikat gay dan akan menerkamku sesaat setelah aku mempertontonkan
pahaku. Namun demi kesembuhan, aku terpaksa menuruti perintahnya. Untung aku
sudah persiapan memakai celana pendek dari rumah jadi tidak merasa khawatir
dicabuli. Pelan – pelan ku buka celana. Semakin pahaku tersibak, semakin melotot
mata si dokter memandanginya dengan penuh nafsu. Semakin terbuka, semakin
terbuka, dan tiiiiiittt. Sensor.
Setelah kulihatkan bagian pahaku yang gatal itu, si dokter mulai
menganalisis penyakit apa yang menyerang tubuhku. Lalu tanya jawab kembali
dilakukan.
Dokter Laki – Laki : “Mas, saya boleh tanya?”
Aku : “Silahkan, dok.”
Dokter Laki – Laki : “Tapi sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu.”
Aku : “Iya, dok. Silahkan, tidak apa – apa.”
Dokter Laki – Laki : “Saya benar – benar minta sebelumnya ya, mas?”
Aku : “Minta maafnya ntar aja kalau udah lebaran, dok.” Aku mulai gerah.
Dokter Laki – Laki : “Sebelumnya saya minta maaf ya, mas? Mas, gak boleh
tersinggung.”
Aku : “Iya dok, katakan saja tidak apa – apa.” Tiba – tiba aku punya
firasat buruk bahwa si dokter ini akan mengatakan cinta kepadaku karena terlalu
grogi sebelum mengatakannya.
Dokter Laki – Laki : “Bener ya, mas. Aku minta maaf sebelumnya.”
Aku : “Huuuuuuaaaaaaaaa…….. Sekarang dokter tinggal pilih yah. Pilih
gantung diri sekarang atau aku yang nggantung dokter ?”
Dokter Laki – Laki : “He.he. Jangan marah tho.”
Aku : “Habisnya minta maaf melulu.”
Dokter Laki – Laki : “Begini, mas.” Dokter memelankan suaranya, “Apakah
mas pernah berhubungan dengan cewek?”
Aku : “Maksud dokter?” Aku masih belum paham apa yang ditanyakannya.
Dokter :”Maksud saya, pernah ndak mas berhubungan intim dengan cewek?”
Aku : “Hah ?” *sambil memasang muka mirip orang tertangkap basah mencuri
jemuran tetangga*
Dan, aku mulai mudheng dengan
apa yang dimaksudkan oleh si dokter. Aku dicurigai terkena AIDS. Enak saja aku
dibilang pernah “gitu – gituan” sama cewek, orang megang tangan cewek aja gak
berani karena takut dihajar pacarnya. Kalau saja tidak ingat si dokter meminta
maaf sebelumnya, pasti sudah ku laporkan dia ke Majelis Ulama Indonesia dengan
tuduhan mencemarkan nama baik orang beragama.
Aku : “Tidak pernah, dok. Aku tidak pernah melakukan hal itu.”
Dokter : “Ah, yang bener ?” *dokter tidak percaya*
Aku : “Bener, dok. Kata Bang Rhoma itu haram dan terlalu, dok.”
Dokter : “Oh….”
Setelah diperiksa, aku diberi berbagai macam obat serta salep untuk
mengeringkan luka di kulit akibat terlalu sering ku garuk.
Namun, berhari – hari setelah aku periksa di Puskesmas, tidak ada
perkembangan yang signifikan dari tubuhku. Obat – obat yang kukonsumsi hanya
bisa membuat ngantuk namun tidak dapat menghilangkan rasa gatal. Tiap malam aku
masih merasakan gatal – gatal, dan tiap malam pula aku tidak bisa tidur sampai
pagi menjelang. Kalau boleh jujur, sungguh aku merasa tersiksa dengan kondisi
seperti ini. Dan, dari sini aku mulai berfikir bahwa betapa nikmatnya orang
yang dapat tidur malam dengan nyenyak. Nikmat yang sering dilupakan untuk
disyukuri.
Akhirnya, ibu menyuruhku berhenti
mengkonsumsi obat – obatan karena akan berakibat tidak baik pada organ tubuh
yang lain. Selang beberapa hari kemudian, aku dapat info dari seorang teman
bahwa ada pengobatan herbal untuk segala penyakit, termasuk gatal – gatal.
Tanpa membuang waktu, aku langsung pergi ke tempat yang direkomendasikan. Barulah
setelah diperiksa, aku tau bahwa ternyata aku terindikasi usus kotor. Hah, usus
kotor ? Padahal, seingatku aku tidak pernah makan sampah, belatung atau bangkai
tikus yang mati terlindas truk di jalan raya. Aku menerka – nerka apa yang
harus kulakukan agar ususku kembali bersih? Viola,
jawaban ketemu. Caranya mudah, aku hanya perlu mengeluarkan ususku dari perut
kemudian mencucinya dengan detergen lalu dijemur, baru setelah kering dan
disetrika dimasukkan kembali ke dalam perut. Beres. Inilah yang disebut metode
unik menjemput ajal.
Kembali ke pengobatan. Seusai
diperika, diketahui bahwa usus yang kotor inilah yang membuat penyakit gatal –
gatal hadir menyandra tubuhku. Si tabib merekomendasikan agar aku diterapi. Dan,
disinilah pertama kali aku mendengar nama terapi yang cukup unik, yaitu
YUMINGO. Kalau dilihat dari susunan hurufnya sih, terapi ini berasal dari
Negeri Sakura, Jepang. Terapi ini berfungsi mengembalikan susunan tulang dalam
tulang yang disposisi, agar nantinya sistem aliran darah dalam tubuh menjadi
lancar. Eits, jangan senang dulu,
karena cara kerja dari terapi ini cukup menjengkelkan, yaitu meminjat dan
menekuk – nekuk tulang sampai tubuh yang diterapi menjadi lemas tak berdaya. Tapi,
kabar baiknya adalah setelah diterapi, tubuh akan merasa rileks.
Seusai terapi Yumingo, aku juga
disarankan untuk menjalani pengobatan selanjutnya. Kali ini pengobatan yang
berasal dari Arab. Yup, benar sekali,
BEKAM. Terapi yang berfungsi mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh ini,
merupakan metode pengobatan yang dikenal sejak zaman Nabi Muhammad. Cara
kerjanya ialah menyedot darah kotor dalam tubuh menggunakan alat khusus,
semacam kop gitu deh. Ngeri juga
melihat darahku keluar berjama’ah dari dalam tubuh saat di bekam. Anehnya, warna
darah yang keluar tidak seperti biasanya yang merah segar, melainkan berwarna merah kehitaman. Padahal jelas –
jelas aku tidak pernah minum air comberan, apalagi minum air jemuran. Mungkin
ini yang disebut darah kotor.
Setelah kedua terapi kujalani, kini
saatnya pemberian obat herbal. Kata si terapis, obat herbal ini berfungsi untuk
membersihkan ususku yang kotor. Sebenarnya, ini cuma bahasanya orang – orang
kedokteran saja, biar kelihatan lebih intelek, tidak gaptek dan mengapotek
gitu. Tapi maknanya akan sama saja dengan kalimat, “Obat herbal ini berfungsi
agar kamu sering – sering be’ol.” Dan, benar saja. Setelah mengkonsumsi obat
herbal ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu di WC daripada di masjid
(numpang be’ol di masjid maksudnya). Kalau sebelum terapi, setiap malam aku
harus garuk – garuk, sekarang setiap malam aku harus jongkok di atas jamban
sambil nahan kantuk. Do’akan aku cepat
sembuh ya kawan, biar aku tidak tersiksa seperti ini.
Oh,
iya. Aku baru ngeh kalau saat ini, terapi
- terapi alternatif lebih diminati daripada pengobatan ala rumah sakit.
Berbagai alasan mendasari mengapa kebanyakan orang berpindah hati ke terapi
alternatif, salah satunya adalah bahwa
pengobatan ini tidak memelurkan biaya yang banyak. Wah, hukum ekonomi banget
nih. Tapi tidak masalah, yang penting sembuh, seperti pepatah bilang bahwa,
“Banyak jalan menuju Roma.” Apapun cara pengobatannya yang penting kembali
sehat.
Nah, yang baru – baru ini sedang
nge-trend adalah terapi lintah. Sama seperti bekam yang fungsi mengeluarkan
darah kotor dari dalam tubuh, bedanya hanya pada alatnya saja. Pada terapi
lintah ini, lintah akan diletakkan pada bagian tubuh pasien yang merasa sakit.
Setelah itu, secara naluriah, lintah akan menyedot darah kotor di bagian itu.
Setelah dirasa cukup, lintah diangkat, dan ditiriskan (lho…?). Beres.
Kalau orang lain akan lari terbirit
- birit bila bertemu lebah karena takut tersengat, ini malah dicari untuk dijadikan
pengobatan. Terapi sengat lebah, namanya. Cara kerja terapi ini adalah
menusukkan sengat lebah pada bagian pasien yang sakit. Dan, rupa – rupanya
terapi ini lumayan manjur. Bisa dicoba deh.
Kemudian terapi yang lagi hangat –
hangatnya diberitakan oleh media, yaitu terapi lilit ular. Katanya, terapi yang
biayanya dapat mencapai enam ratus ribu rupiah ini dapat membuat otot tubuh
menjadi rileks, dengan cara kerja yakni melilitkan beberapa ular pada bagian
tubuh. Tentu saja ada harus dijaga pawang ular,
takut – takut nanti terjadi hal – hal yang tidak diinginkan pada pasien.
Contoh, secara tidak sadar si ular melilit pasien dengan sangat keras
hingga pasien sesak nafas kemudian
almarhum di tempat. Atau tiba – tiba pasien makan tuh ular karena dikira sosis dan lain sebagainya.
Dan, sekarang aku memiliki ide cemerlang
untuk membuat bisnis terapi baru dalam ranah pengobatan alternatif. Rasa –
rasanya, ideku ini akan menjadi trend
setter di bidang kesehatan dua tahun ke depan. Secara, pengobatan ini
adalah pengobatan yang pertama dan satu – satunya di Indonesia. Jika Tuhan mengijinkan
bisnisku ini sukses, aku akan membuka cabang pengobatan di seluruh Indonesia
bahkan di belahan dunia lainnya. Namanya, “TERAPI GIGIT BUAYA”. Terapi yang
sangat sederhana, mudah, murah, menghemat waktu, dan magic. Cara kerjanya, pasien
tinggal menunjukkan bagian mana yang sakit (seumpama yang sakit adalah kaki
kanan), setelah itu terapis akan mengeluarkan buaya sebagai aktor utama terapi.
Lalu, pasien tinggal memasukkan kaki kanannya ke dalam mulut buaya yang
menganga. Setelah kaki kanan pasien benar – benar masuk ke dalam mulut buaya,
selanjutnya buaya akan memulai terapinya dengan menggigit kaki pasien sampai
habis. Terapi berakhir. Mudah, murah, menggemat waktu, dan magic bukan ? Cara
pengobatannya juga sama ketika yang sakit adalah kepala. Pasien tinggal
masukkan kepalanya di mulut buaya, kemudian buaya akan memulai terapi dengan
cara menggigit kepala pasien sampai putus. Selesai. Dijamin, pasien tidak akan
merasakan sakit lagi dan akan hidup dengan tenang selama - lamanya.
Oh, iya sebagai catatan, buaya yang dipakai untuk terapi adalah buaya
yang tidak diberi makan selama enam bulan.
Ada yang mau mencoba ?